🦄 Resilience - 01 🦄

6.6K 515 97
                                    

"Rye, dengerin abang dulu----"

"Apa yang harus gue denger? Kalian yang bunuh Mama?" Remaja itu semakin mengepalkan telapak tangannya dengan kuat. Amarahnya menggelegak. Terbukti dari rona wajahnya yang memerah, bahkan sampai merambat ke telinga. Dadanya juga terlihat naik turun karena jantungnya yang berdetak kencang secara tidak stabil. "Iya, kalian yang bunuh Mama?!"

"Rye, kamu salah paham!"

"Bang Jou juga bilang gue salah paham?!"

Pemuda dengan nama lengkap Broccolius Jouska Oyster itu mengangguk dengan pasti. Dari mereka berempat yang berada di ruang tengah ini, hanya dia yang memasang raut setenang air. Meskipun tidak dipungkiri, di dalam benaknya. Ada ketakutan jika rahasia besar yang mereka simpan, berakhir terbongkar sia-sia. Apalagi jika dibumbui dengan kesalahpahaman yang tidak berujung.

"Kamu memang salah paham, Rye!" Nada suara Nion terdengar sengaja dibuat tenang. Menghadapi keponakan satu-satunya itu memang membutuhkan kesabaran. Sejak awal dia sudah menjelaskan, jika yang remaja itu dengar, bukanlah yang sebenarnya. "-Kamu harus percaya kalau yang kamu dengar itu hanya salah paham, Rye!" Pemuda yang memiliki nama lengkap Onion Avenoir Oyster itu kembali melanjutkan. Nada suaranya masih terdengar tenang, berbanding terbalik dengan raut wajahnya yang terlihat frustasi.

Kepalan telapak tangan remaja itu semakin menguat. Raut marahnya terlihat begitu kentara. Amarah yang sangat mendominasi, seolah menguasai seluruh perasaannya, saat ini. "Harus percaya, ya?" tanyanya yang kemudian berkedip dua kali. Tanpa diperintah, kepalanya sontak mendongak. Dengan begitu, pandangannya yang mengabur karena menahan agar air mata tidak jatuh. Kini, tidak lagi. Air mata yang dia tahan sejak tadi, berlomba-lomba mengalir untuk membuat pipinya basah.

"Rye, jangan seperti ini!"

Kali ini nada suara Nion tidak lagi terdengar tenang. Melainkan khawatir. Bagaimanapun, remaja itu merupakan titipan terakhir dari sosok kembarannya yang sudah tiada.

"Jadi apa, bang? Apa yang buat gue salah paham?!"

Pemuda yang sejak tadi diam seraya menggerakkan kakinya di lantai marmer secara acak itu mendengus samar. Keningnya juga mengerut karena berpikir. Si pemilik nama lengkap Nareshio Angre Oyster itu mengangguk kecil. Lalu tersenyum, baru kemudian mimik wajahnya berubah serius. Perubahan ekspresi yang dia buat seakan menunjukkan bagaimana semua yang terjadi seolah sudah sesuai. Berporsi pas, dan bertoping lengkap. "Kamu ingin dengar apa, Rye? Katakan, abang akan menceritakan semua yang ingin kamu ketahui dengan jujur!"

Detik itu juga kelakar tawa remaja itu terdengar lantang. Semua yang terjadi pada dirinya tidak ada yang sinkron sama sekali. Air mata yang tetap mengalir, dan mulut yang terus mengeluarkan tawa keras. Isakan yang beradu dengan suara tawa itu seolah menggambarkan perasaannya yang teramat kacau. Bahkan, sangat. "Jujur? Abang bilang jujur?" ujar remaja itu bertanya dengan isakan yang turut terdengar. "-Gue nggak pernah lupa, abang sendiri yang ngomong kalau gue anak Perdana menteri, Diplomat, bahkan Presiden. Dasar pembohong ulung! Terus sekarang apa, hah? Gue anak raja? Pangeran?! Brengsek!"

Dalam situasi seperti ini. Suara tawa Angre ikut terdengar. Riuh tepuk tangannya juga turut mengimbangi. "Ingatanmu bagus sekali, Rye. Perkataanmu tadi terdengar konyol!" balasnya seraya melepas jas hitam yang terpasang. Hingga kini tubuh bagian atasnya hanya terbalut kemeja putih yang dasinya sudah dia longgarkan. "-Psikiater yang abang kenal masih hidup dengan baik. Kamu ingin berkonsultasi di sana?" lanjutnya menawarkan. Dia bahkan kembali menarik kedua sudut bibirnya untuk mengulas senyum. Senyum yang terlihat begitu sempurna itu seakan mengalahkan keindahan senja. Kesan manis, serta menggemaskan yang bertolak belakang dengan sikapnya itu juga ter-umbar dengan bebas saat lesung pipinya terlihat.

RESILIENCE ; ||Slow Update||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang