🦄 Resilience - 20 🦄

1.6K 252 111
                                    

Ragie rasa, telinganya masih berfungsi, bahkan masih berfungsi dengan sangat baik. Tetapi beberapa detik lalu, dia rasa sepasang telinganya ini kehilangan fungsi. Hari ini, bahkan belum terhitung dua jam sejak perubahan drastis sang Ayah yang membuat euforia bahagia di sudut perasaannya yang paling dalam meledak hebat layaknya kembang api. Namun sekarang, fakta yang terlontar dari mulut sosok Ayah kandungnya itu, membuat euforia yang terasa di sudut perasaannya yang paling dalam, kian menggila, bercampur dengan perasaan terkejut yang diliputi banyak pertanyaan.

"Maksud lo, anak lo kembar, Le?" Virgo bertanya skeptis. Yang dimana pertanyaannya itu mewakili salah satu pertanyaan yang berkecamuk di otak kecil Ragie.

Ragie yang sejak tadi sudah menunduk, semakin menunduk begitu mendengar pertanyaan Virgo. Kedua tangannya bahkan bertaut dengan jari-jemari yang saling mengisi kekosongan. Iya, ternyata dia tidak salah dengar. Telinganya juga masih berfungsi dengan baik sehingga bisa dengan jelas mendengar ucapan sang Ayah yang mengungkapkan jika dia memiliki saudara kembar, mereka kembar. Darah yang mengalir di tubuh mereka, juga sama. Kemungkinan besarnya juga, wajah mereka sama.

"Benar. Ragie kembar!"

"Le? Lo.. nggak lagi bercanda, 'kan?"

"Ragie memang kembar!" ungkap Leo, untuk kedua kali yang kali ini menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulut Cancer.

"Terus, kembarannya mana? Lo bunuh, Le?"

"Lib!" sergah Virgo cepat begitu mendengar pertanyaan sarkas Libra. Dari mereka berlima, termasuk Leo. Mulut Libra memang se-pedas itu. Dulu, ketika mereka masih menduduki bangku sekolah menengah atas. Libra dan Leo bisa dikatakan 'kakak beradik' yang kelakuannya tidak jauh berbeda. Bahkan seringkali mem-bully. Jika Leo dengan sikap bossy serta mulutnya yang tidak pernah bosan memberi perintah ini-itu kepada orang lain. Maka Libra dengan mulut pedasnya yang selalu dengan santai melayangkan kalimat sarkas, juga hina.

Meski merasa sedikit terkejut dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut Libra. Leo tetap bersikap tenang, bahkan dengan santai menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. "Jangankan bunuh, Lib. Tahu keberadaannya dimana aja, gue nggak tahu!"

"BRENGSEK!"

Mendengar hardikan Libra yang tertuju padanya. Tawa Leo menguar, tawa yang terdengar amat tertekan yang terdengar dipaksakan. Dia lantas melirik Ragie yang masih diam dengan kepala tertunduk. "Ragie, Papa tidak sebaik yang kau kira-"

"G-gie nggak pernah bilang Papa baik!" serobot Ragie cepat yang sedetik kemudian langsung mendongak.

Detik itu juga suara tawa yang sengaja ditahan, serta suara batuk-batuk untuk menyamarkan suara tawa, terdengar beberapa kali. Sementara Libra sendiri, tertawa mengejek secara terang-terangan.

"-Papa nggak baik, tapi Papa yang terbaik bagi Gie," ucap Ragie melanjutkan yang seketika membuat suasana kembali diselimuti keheningan. "Makasih, ya, Pa? Dengan Papa mempertahankan Gie sejak kecil di sisi Papa, Gie merasa memiliki 'rumah' untuk pulang. Padahal bisa aja Papa buang Gie di jalanan."

Leo merasakan dadanya seperti ditusuk ribuan jarum begitu mendengar perkataan Ragie. Rasanya sakit. Dia juga merasakan tatapannya memanas. Ada sesuatu yang dia tahan agar tidak tumpah didetik pertama begitu mendengar kata demi kata yang terucap dari mulut Ragie. Semudah itu putranya memaafkan kesalahan yang dia perbuat selama bertahun-tahun. Sementara dirinya, si pembuat luka belum melakukan apapun untuk menebus semua kesalahan yang dia perbuat.

"Papa benar-benar minta maaf, Ragie!" ungkap Leo dengan suara pelan. Nada suaranya yang terdengar bergetar, tidak berhasil dia sembunyikan. Begitu juga dengan ekspresi penuh penyesalan yang terlihat, tidak bisa dia tutupi.

RESILIENCE ; ||Slow Update||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang