11. minggat

1.6K 236 56
                                    


[Name] menatap horor benda panjang yang sedang ia pegang. Ini sudah percobaan ke sekian kalinya dan hasilnya tetap sama.

Positif.

Astaga, apa harus secepat ini? Anak ketiganya baru saja berumur delapan bulan, dan kini ia akan mendapatkan yang baru lagi. Aduh, membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya saja sudah membuat [Name] ingin kabur saja.

"Bangsat lo, Pan." Gumamnya.

Sebenarnya, ia sudah merasa aneh dari dua bulan yang lalu. Tanda-tandanya sudah mulai berdatangan padanya, lalu juga ia merasa sedikit gemukan. Tapi dirinya tak berani mencoba benda panjang itu lagi, sebelum akhirnya ia coba karena tak datang bulan.

"Mau minggat ... ukh, gue kurang sabar apa, sih, sama empat cowok di rumah ini?"

Stok kesabaran [Name] sudah mau habis rupanya.

Cklek.

"Bunda, kita pulang!"

Pintu rumah dibuka pelan oleh suaminya, bersamaan dengan dua bocah laki-laki dan satu bayi laki-laki yang ada di dekapan Taufan.

Mereka berempat baru selesai jalan bersama memutari komplek karena Taufan pulang lebih cepat dari biasanya. Sehingga mereka bisa jalan bersama.

"Buka jaket kalian terus cuci kaki sama cuci tangan. Jangan lari-lari, gantian."

Kedua anaknya itu mengangguk dan langsung pergi ke kamar mandi terdekat untuk mencuci kaki dan tangan mereka. Berbeda dengan Taufan yang menghampiri [Name] dan mengecup pipinya sekilas, lalu menyerahkan Haize yang sedang dalam mood baik.

"Muterin komplek berapa kali?"

"Dua kali, soalnya pas di putaran pertama, Haize minta muter lagi, hehehe."

"Oh. Sana, mandi lagi aja kamu. Muka mu udah kayak gembel begitu."

Taufan cemberut, namun walau begitu dirinya tetap berjalan menuju kamar mandi tepat setelah kedua anaknya selesai mencuci kaki.

"Beliung, ambilin Papa handuk."

"Males, Hali aja."

Entah, Hali malah mengiyakan dan pergi untuk mengambilkan Taufan handuk. Emang anak berbakti Hali tuh.

[Name] hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Beliung, untung ia lagi sabar, kalau tidak, sudah ia jewer kuping mungil itu.

"Aduh, Je. Kakakmu aneh semua, jangan kayak mereka, ya?" ucap [Name] sambil mengusap kepala bayinya lembut.

"Je, kalo kamu punya adek, kamu bakal gimana?" Haize yang tadinya asik mengemut tangannya sambil tersenyum tiba-tiba berhenti. Ia menatap bundanya dengan tatapan ingin menangis, ekspresinya seperti tak suka, seolah ia paham apa yang dikatakan bundanya ini.

"Hu-huweee iks ... tatatatataaa, HUWAAA!"

Tiba-tiba ia menangis kencang. Kepalanya ia gelengkan dengan sekuat tenaga, tubuhnya langsung menolak dipeluk oleh [Name].

Sepertinya ia menolak kehadiran sang adik.

"Aduh, Ije. Bunda kan cuma nanya!"

[Name] jadi deja vu. Kakaknya juga seperti ini saat mendengar jika sang ibu sedang mengandung dirinya. Ia menolak [Name] lahir ke dunia ini walau endingnya diterima, sih.

"... Kamu mau jadi bungsu, ya?" tanya [Name] dengan tersenyum miris.

"Sayang banget, tapi anak bungsu disini itu kayaknya anak nomor sebelas. Hahaha, Bunda mau minggat aja." [Name] tertawa miris, ia pasrah saja sudah. Tak paham lagi dengan sang suami.

caper; b. taufan [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang