07 | dia, peka (2)

1.4K 163 7
                                    

Sudah bermenit-menit berlalu sejak Linka membubuhkan titik pada kalimat terakhir yang ia ketikkan, tetapi otaknya tak bisa diajak kerja sama untuk memikirkan apa lagi yang ia harus tambahkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah bermenit-menit berlalu sejak Linka membubuhkan titik pada kalimat terakhir yang ia ketikkan, tetapi otaknya tak bisa diajak kerja sama untuk memikirkan apa lagi yang ia harus tambahkan. Kedua netra gadis itu sudah terasa berat dan perih karena terlalu lama menatap layar laptop. Dan saat melirik ke bagian kiri bawah di sudut, ia seketika agak terjekut.

Sekarang sudah pukul dua pagi rupanya, yang berarti selama berjam-jam telah Linka lewati dengan hanya duduk untuk menyelesaikan tugas kuliah. Gadis itu lantas mengembuskan napas panjang seraya merebahkan tubuh sejenak pada kasur karena rasa pegal yang menyerang punggung.

Linka kemudian meraih ponsel dan membuka WhatsApp, hendak mengecek grup yang beranggotakan teman-teman satu kelompoknya.

Yah, tugas yang tengah Linka garap saat ini sebetulnya memanglah tugas kelompok. Alih-alih hanya mengerjakan bagiannya, sang gadis justru ingin menyelesaikan keseluruhannya seorang diri. Dalam persoalan ini, Linka selaku ketua kelompok bukannya ingin mendapat pengakuan atau dianggap sebagai yang paling pintar. Linka merasa kalau dirinya tidak bergerak duluan, progres tugas mereka justru tidak akan jalan.

Hal tersebut disebabkan oleh anggota kelompoknya yang sangat tidak responsif meskipun Linka sudah memberi tahu bagian masing-masing yang harus dikerjakan sambil terus berulang kali mengingatkannya. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Bahkan sampai detik ini, Linka tak mendapatkan apa pun usai mengeceknya.

Linka tahu kalau dirinya tak cocok menjadi seorang ketua. Hanya karena dosen serta anggota kelompok yang telah menaruh kepercayaan padanya, maka ia pun berusaha keras dalam memainkan perannya. Namun, jika situasinya malah berakhir demikian, Linka sungguh tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.

Ingin menenangkan pikiran sejenak, Linka pun bangkit lalu meraih gelas yang sudah kosong serta satu bungkus minuman cokelat instan. Gadis itu lantas keluar dari kamar dan beranjak menuju dapur umum.

Di jam dua pagi seperti ini tentu saja para penghuni berada di kamarnya masing-masing sehingga situasi di kos betul-betul sepi. Namun, sebelum sampai di tujuan, Linka sekonyong-konyong mendengar derap langkah yang sepertinya berasal dari lantai atas.

Kontan Linka pun berhenti.

Seiring dengan bunyi tersebut yang kian terdengar jelas, akhirnya Linka mendapati sosok yang merupakan si pelaku utama tengah menuruni tangga.

Dan, seketika Linka menahan napas kala menyadari bahwa orang itu ternyata adalah Zefran.

Ya Tuhan, kebetulan macam apa lagi sekarang? Linka sungguh tak menduga akan bertemu kembali dengan Zefran di waktu selepas tengah malam seperti ini.

“Eh, Linka?” adalah dua kata pertama yang meluncur dari mulut Zefran. Lelaki itu pun tampak tak menyangka melihat keberadaan Linka di sana. Setelah sampai di hadapan gadis itu, ia lekas melanjutkan, “Kamu ngapain jam segini keluar kamar? Apa belum makan malam lagi?”

Linka tersadar seraya mengerjap, "Oh, nggak, Kak,” sahut Linka, lantas ia mengangkat rendah gelas dan sebungkus minuman instan di tangannya. “Aku mau bikin cokelat panas,” lanjutnya, berusaha terdengar senormal mungkin.

Kedua alis Zefran terangkat, bersamaan dengan kedua ujung-ujung bibirnya yang tertarik. “Wah, pas banget kalau gitu, aku juga mau bikin kopi. Masak airnya sekalian aja kalau gitu.”

Tanpa menunggu balasan Linka, Zefran gegas beranjak menuju dapur. Lalu ia mengambil teko yang kemudian diisi dengan air dari kemasan botol yang dibawanya sendiri. Melihat itu Linka sempat ingin mengambil alih karena merasa tak enak, tetapi Zefran dengan santainya langsung menolak. Alhasil, Linka hanya bisa membiarkannya dan tak lupa berterima kasih.

Kini Linka berdiri dengan canggung tanpa tahu apa yang harus ia lakukan sembari menunggu. Sesekali Linka melirik pada Zefran yang berdiri diam di depan kompor seraya bersedekap. Ingin rasanya Linka membuka obrolan, tetapi otaknya benar-benar terasa kosong sekarang. Dan, gadis itu jadi kesal sendiri karena ia hanya bisa melewatkan kesempatan emas di depan mata begitu saja.

Namun, di saat itu semesta seolah mendengar keinginan kecil Linka dan dengan cepat bersedia memberi bantuan. Sebab Zefran tahu-tahu saja menoleh ke arahnya dan memamerkan senyum khasnya, yang kemudian disusul oleh kalimat, “Kenapa harus jauhan gitu nunggunya, Linka? Sini, sekalian taruh gelas kamu di sini biar gampang tuang air panasnya nanti.”

Gawat. Zefran malah suruh Linka mendekat. Padahal, gadis itu memang sengaja menjaga jarak demi keselamatan jantungnya.

Hanya saja karena tak ingin Zefran curiga, akhirnya ia menurut dan mengambil langkah ke dekat kompor seraya menaruh gelas serta minuman instan di atas meja keramik. Tak mau sampai terlihat begitu kikuk, Linka langsung menuangkan bubuk cokelat ke dalam gelas.

“Kamu emang suka begadang, ya?” Tanpa diduga, Zefran masih berniat melanjutkan percakapan mereka.

Menoleh sekilas pada sang lawan bicara, Linka menjawab, “Iya, kalau lagi banyak tugas.” Ada jeda sejenak. “Umm, kalau Kakak?”

“Hmm, sama, sih,” sahut Zefran, kemudian ia meloloskan napas dengan berat. “Tapi, kalau sekarang emang mau nggak mau harus selalu begadang. Kalau nggak gitu, skripsi aku nggak bakal kelar-kelar kayaknya.”

Ah, betul juga. Saat ini Zefran memang tengah menggarap skripsinya, pikir Linka. “Tapi … nggak baik kalau terus-terusan begadang, Kak.”

Zefran tertegun sejenak, lalu tawa kecilnya menguar. “Jangan ngomong begitu kalau kamu juga masih suka begadang, Linka. Harusnya kamu bilang gitu ke diri kamu sendiri.”

Linka meringis pelan. “Susah, Kak. Udah jadi kebiasaan soalnya.”

“Yah, sebenernya wajar aja. Sebagai mahasiswa pasti ada yang harus dikejar. Makanya ada banyak hal juga yang harus dikorbankan demi mencapai itu.” Zefran menghela napas sebelum menambahkan, “Tapi, pasti ada kepuasan tersendiri kalau hasil yang didapat setara sama usaha yang udah dikerahin, ‘kan? Jadi pengorbanannya nggak sia-sia gitu aja.”

Penuturan Zefran terekam dengan baik dan jelas dalam benak. Selama beberapa saat memikirkannya dengan cermat, satu pertanyaan pun timbul yang saat itu juga langsung dilisankan oleh Linka, “Tapi, kalau nggak sesuai sama ekspetasi gimana, Kak?”

Zefran tergeming, tak langsung memberi balasan. Lelaki itu hanya diam memandang Linka dengan tatapan tak terdefinisikan.

Karenanya, dengan cepat Linka membatalkan niatannya dengan berujar, “Ah … lupain aja, Kak, aku cuma iseng nanya aja, kok.”

“Kayaknya emang ada sesuatu yang lagi ganggu pikiran kamu, ya?”

Sontak Linka menahan napas. Lagi-lagi, lelaki itu dapat mengetahuinya dengan mudah.

Sabit di bibir Zefran pun tampak kembali terbentuk. “Linka, kamu udah pernah ke atap kosan ini, belum?”

“Atap?” Linka sedikit tak mengerti mengapa tiba-tiba Zefran menanyakannya. “Belum, Kak.”

“Ngobrol sebentar di sana, yuk? Anggap aja, sekarang waktunya coffee break. Kasian kepala kamu kalau dipakai mikir terus.”

Seketika saja Linka pun tertegun.

Kalimat-kalimat tersebut tertangkap bagaikan sesuatu yang bersifat tak nyata. Namun, gadis itu sungguh tidak salah mendengar. Saat ini, Zefran betul-betul tengah mengajaknya untuk bicara berdua saja di atap kos sembari menikmati minuman hangat masing-masing.

Dan, tentu saja yang Zefran dapatkan setelahnya bukanlah sebuah penolakan.

Sebab Linka mendadak tak tahu bagaimana cara melakukannya.

* ੈ✩‧₊˚

bandung, 19 januari 2023

[republish: 1 oktober 2024]

See You After Midnight [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang