38 | dia, kembali

1.7K 127 6
                                    

Setelah akhirnya dapat meninggalkan ruangan yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan sidang skripsi, Zefran dapat merasakan bagaimana beban di pundak terangkat seluruhnya hingga ia dapat melangkah dengan begitu ringan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah akhirnya dapat meninggalkan ruangan yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan sidang skripsi, Zefran dapat merasakan bagaimana beban di pundak terangkat seluruhnya hingga ia dapat melangkah dengan begitu ringan. Kelegaan luar biasa menyeruak dalam diri kendati sedikit kecewa tetap menyertai--sebab semuanya tak berjalan semulus yang ia kira. Namun, yang terpenting baginya adalah ia telah berhasil melalui satu tahapan penting yang paling ia khawatirkan sejak lama. Perihal hasil, itu menjadi urusan nanti.

Seraya membawa keluar barang-barang yang dibawa, Zefran menarik napas dalam dan mengembuskannya panjang-panjang. Sepasang netranya terasa berair, tetapi lelaki berkacamata itu berusaha keras menahannya dengan mengedip beberapa kali. Rasanya ia menjadi sangat emosional--yang tentu saja adalah hal wajar mengingat segala hal yang telah ia lalui selama beberapa bulan ke belakang.

Semua jadi kian sulit saja ketika Zefran disambut oleh rekan-rekannya yang telah menunggu di luar. Jumlahnya jauh lebih banyak dari yang sebelumnya karena ia adalah peserta terakhir di sesi hari ini. Tanpa perlu waktu lama, sudut-sudut bibir Zefran pun lekas terangkat membentuk senyum haru usai dirinya dibanjiri oleh ucapan selamat serta berbagai macam hadiah. Beberapa kawannya bahkan secara sukarela mau membereskan barang Zefran agar laki-laki itu dapat dengan tenang menikmati euforia yang tercipta.

“Aldio Zefran Waranggana, akhirnya sidang juga, lo!” Kali ini giliran Gema yang menghampiri Zefran dan memeluk singkat kawan karibnya itu. Omong-omong, Gema sendiri sudah melewati sidang skripsinya di hari kemarin. “Gimana, gimana? Semuanya lancar?”

Zefran tersenyum masam. Kedua matanya tampak sedikit memerah, nyaris menumpahkan air mata. “Gue hampir dibantai habis penguji, kalau aja Bu Winda nggak bertindak apa-apa.”

“Hah? Maksudnya, tadi Bu Winda ngebelain lo?”

“Ya jelas. Bukannya itu emang peran penguji advokat?”

Gema tampak tak percaya mendengar hal tersebut. “Sialan. Ternyata bener kata lo, Bu Winda sebagai pembimbing lebih baik daripada jadi penguji ahli.” Lelaki itu lantas mendengkus keras. “Lo pasti nggak tau ‘kan, gimana rasanya jadi anak-anak yang nggak bisa keluar ruangan dengan full senyum karena diujinya sama Bu Winda?”

“Ya iyalah nggak tau, nggak jelas banget pertanyaan lo. Lagian salah kalian sendiri ‘kan, yang nggak mau ngikutin jalan yang gue ambil?”

“Wah, mentang-mentang udah kelar, lo jadi berani buat bersikap songong begini, ya? Lupa emang, lo hampir terancam telat lulus gara-gara revisi yang nggak kelar-kelar?”

“Seenggaknya itu udah jadi masa lalu. Nggak ada gunanya lo ungkit-ungkit lagi, Gem.”

“Jadi nyesel gue udah datang ke sini,” sahut Gema setengah bercanda. Kemudian, ia mengangkat satu bucket bunga mawar merah yang baru Zefran sadari keberadaannya. “Bunganya gue bawa balik lagi aja kalau gitu, dah.”

See You After Midnight [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang