Zefran menyusuri lorong lantai satu gedung fakultasnya seraya mengecek ulang kelengkapan berkas dalam map yang dibutuhkan sebagai syarat pendaftaran sidang. Meski sudah yang kedua kali, hasilnya tetap sama, yakni hanya kurang tiga buah eksemplar draf skripsi utuh yang telah disetujui oleh dosen pembimbing satu dan dua. Guna meminimalisir biaya yang dikeluarkan, Gema menyarankan agar Zefran membeli kertas HVS sendiri dan mencetaknya dengan printer yang terdapat di ruang sekretariat himpunan.
Tentu saja Zefran sempat ragu apakah dirinya yang sudah tak aktif tetap diperbolehkan untuk menggunakan fasilitas di sana. Namun, dengan santainya Gema hanya membalas, “Lo punya nama di hima karena lo udah banyak berkontribusi, jadi ya lo manfaatin dikit ajalah Zef, kayak gue. Entar gue bantu urus. Kahim yang sekarang sohib gue, tuh. Lo tenang aja udah.”
Oleh karena Zefran terburu-buru dan ingin semuanya dapat cepat selesai, akhirnya ia putuskan untuk mengikuti saja saran dari Gema. Dengan demikian, tujuan Zefran saat ini tentunya adalah ruang sekretariat himpunan jurusannya yang hanya tinggal beberapa langkah lagi di depan. Sesampainya di sana, lelaki itu mengetuk singkat pintu kaca sebelum dibukanya, lantas ia lekas saja masuk usai melepas sepatu.
Pandangan Zefran segera tertuju pada meja komputer di sudut ruangan, dan ia dapat langsung menemukan Gema, duduk pada kursi seraya fokus pada layar di hadapannya yang menampilkan permainan kartu. Mulanya Zefran pikir tak ada siapa pun lagi di sana, sampai ia tak sengaja menengok pada salah satu sisi ruangan di mana terdapat sekumpulan perempuan tengah duduk lesehan dengan posisi melingkar. Zefran kontan terdiam, begitu pula mereka. Namun, saat meneliti satu per satu wajah-wajah itu, Zefran pun seketika paham dengan sendirinya.
Ternyata sang pelaku tengah berada di sana. Wajahnya sontak pucat pasi dengan mata sedikit melebar kala mendapati kehadiran Zefran. Lantas, ia buru-buru membuang muka.
Zefran menghela napas berat. Berusaha tetap terlihat ramah, lelaki itu hanya melempar senyum simpul pada para perempuan di sana yang mayoritasnya adalah adik tingkat. Tanpa berniat berbasa-basi, Zefran segera saja menghampiri Gema agar skripsinya dapat segera dicetak. Usai menyerahkan flashdisk pada Gema, Zefran lantas mengeluarkan dua rim kertas--yang telah ia beli sebelumnya--dari dalam ransel dan menaruh sebagiannya di sandaran kertas pada printer.
Kemudian, karena ingin memastikan sesuatu, dengan suara pelan Zefran melontarkan tanya, “Lo sengaja, sampai nyuruh Hani ke sini juga?”
“Nggak, anjir,” sanggah Gema cepat, sementara fokusnya tetap tertuju pada layar komputer, “mana gue tau itu ciwi-ciwi lagi pada ngumpul.” Laki-laki itu terdiam sesaat, lalu melanjutkan, “Tapi, mumpung ada orangnya, langsung lo hajar aja nggak sih, Zef? Langsung aja sekalian adain sidang terbuka mumpung rame.”
Zefran kontan mendengkus pelan. “Ide bagus, tapi itu bukan cara gue,” sahutnya tegas. Lelaki itu menyugar rambut hitamnya sejenak. “Dan, untuk sekarang gue nggak mau buang-buang waktu dan energi karena ada yang lebih penting buat diurus.”
KAMU SEDANG MEMBACA
See You After Midnight [END]
Roman d'amour[Reading List @RomansaIndonesia Kategori Cerita Bangku Kampus - Oktober 2023] Hanya butuh waktu singkat bagi Linka Drisana untuk jatuh cinta pada Aldio Zefran Waranggana, seorang kakak tingkat dengan sejuta pesona. Bukan soal fisik belaka, melainkan...