02 | dia, menetap

2.5K 217 8
                                    

Jika ditanya perihal bagaimana perjumpaan perdananya dengan Zefran, Linka tentu masih mengingatnya dengan sangat jelas kendati waktu sudah berlalu hampir dua tahun lamanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika ditanya perihal bagaimana perjumpaan perdananya dengan Zefran, Linka tentu masih mengingatnya dengan sangat jelas kendati waktu sudah berlalu hampir dua tahun lamanya.

Pada masa itu, Linka adalah seorang mahasiswi baru yang masih dipenuhi oleh rasa takut akan kegagalan di saat ia baru memulai, sehingga ia akan berusaha melakukan apa pun demi mendapatkan nilai tinggi di tiap mata kuliah yang telah dipilihnya, termasuk pula memikirkan bagaimana cara untuk menyempurnakan semua tugas yang diberikan. Dan, berkunjung ke perpustakaan merupakan satu yang paling mudah untuk dijangkau.

Suatu hari Linka pun akhirnya menyempatkan diri untuk bertandang ke gedung perpustakaan fakultasnya--Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Ruangan besar berlantai tiga itu tidak begitu sepi pengunjung, tetapi tidak dapat disebut ramai pula. Merupakan suasana yang Linka rasa begitu cocok dengan dirinya. Lantas, tanpa perlu berlama-lama lagi, Linka segera menjelajahi tiap-tiap rak yang berada di sana dan mencari sebuah buku yang ia butuhkan.

Namun sayang, setelah berusaha menilik satu per satu buku yang tersusun di rak khusus--yang menurut informasi menyediakan jenis buku yang sesuai, Linka tak kunjung menemukannya. Dan, oleh karena Linka sangat membutuhkannya demi tugas yang sempurna, ia pun memberanikan diri untuk mencari tahu langsung pada staf perpustakaan.

"Pak, maaf, buku The Philosophic Quest apa tidak tersedia di sini?" tanya Linka pada pria muda berkemeja batik yang duduk di balik meja resepsionis.

"Oh, sebentar ya, saya cek dulu datanya," balas staf tersebut sebelum sibuk berkutat sejenak dengan komputer di hadapannya. Tak lama kemudian, pria itu pun kembali beralih pada Linka dan berujar, "Kebetulan perpustakaan kita punya, tetapi memang hanya lima eksemplar saja. Dan menurut data, seharusnya masih ada tersedia satu lagi."

Linka yang mendengar itu pun lekas berpikir soal kemungkinan dirinya yang kurang teliti, sehingga buku tersebut terlewat begitu saja ketika dicari. Pun bisa pula seseorang yang juga ingin meminjamnya datang lebih cepat dari Linka dan memang belum sempat menginformasikannya pada staf.

Dan, tanpa diduga, Linka dapat langsung menemukan jawabannya saat itu juga. Sebab sebelum Linka beranjak pergi setelah berterima kasih pada staf perpustakaan di hadapannya, tampak seorang laki-laki berkacamata menghampiri meja resepsionis sembari membawa tiga buah buku yang hendak dipinjamnya.

Linka yang secara tak sengaja melihat sampul buku di tumpukan teratas pun seketika mengerjap dua kali, lalu tergeming.

"Oh, ini buku yang tadi kamu tanyakan, ya?" Pria di balik meja sudah lebih dulu melisankan apa yang ada dalam kepala Linka.

Satu eksemplar terakhir yang Linka cari rupanya sudah jatuh ke tangan laki-laki jangkung berkulit putih di sampingnya.

Ucapan sebelumnya pun lekas menarik perhatian si lelaki yang langsung menengok ke arah Linka dengan sorot bingung yang begitu kentara. Namun, tak lama setelahnya, sepasang netra di balik kacamata yang bertengger di hidung mancungnya itu seolah memancarkan kehangatan, seiring dengan terbentuknya sebuah senyum simpul di bibir. "Kamu mau pinjam buku ini?" tanya lelaki itu sembari mengangkat buku yang dimaksud.

Linka mau tak mau mengangguk pelan seraya balas tersenyum kendati tampak canggung. "Iya ... Kak." Jika melihat dari perawakannya, entah mengapa Linka langsung berasumsi bahwa laki-laki itu adalah seniornya. "Tapi, nggak papa, kan Kakak duluan yang ambil bukunya." Kemudian, merasa tak ada yang harus dilakukannya lagi di sana, sambil meremas tote bag-nya ia pun melanjutkan, "K-kalau gitu, saya permisi dulu."

"Eh, tunggu dulu." Si lelaki berkacamata tanpa disangka langsung mencegah kepergian Linka.

Linka yang baru hendak berbalik langsung saja kembali menoleh. Kerutan samar pun tampak di dahinya.

Usai menyerahkan tiga buku yang dibawanya beserta Kartu Tanda Mahasiswa pada staf untuk mengurus peminjaman, lelaki itu beralih lagi pada Linka. Dengan kedua sudut bibir yang kini tertarik sewajarnya, ia sekonyong-konyong memberi penawaran, "Kalau kamu emang butuh, nanti saya bisa pinjamin dulu bukunya ke kamu selama yang kamu perlu. Gimana?"

"Eh?" Linka tentu agak tak percaya mendengar itu. Lantas, oleh karena merasa tak enak, ia dengan cepat menolak, "Nggak usah, Kak, nggak papa. Aku masih bisa cari buku yang lain, kok ...."

"Mau kamu cari buku sejenis pun udah pasti isinya tetap beda, 'kan?" balas si lelaki dengan intonasi tenangnya. "Nggak papa kali, santai aja. Kamu mau pinjam berapa lama? Dua hari? Tiga hari?"

Perkataannya memang benar, dan rasanya sayang sekali jika Linka kembali menolak tawaran tersebut. Maka, selepas menimbang-nimbang sejenak, Linka pada akhirnya memutuskan, "Sehari aja ... boleh, Kak?"

"Boleh, boleh banget. Tapi, sehari apa nggak terlalu sebentar?"

"Udah lebih dari cukup kok, Kak. Rencananya emang mau langsung dibaca hari ini juga buat referensi tugas."

"Hmm ... oke, kalau gitu. Berarti, besok udah bisa saya ambil lagi, ya? Kalau nanti ketemu lagi di sini jam tiga, kamu bisa nggak, eum ... siapa, nama kamu?"

Linka secara refleks mengerjap. "Linka, Kak."

Laki-laki itu manggut-manggut sejenak. "Oke, Linka. Kamu udah selesai kelas, kalau jam segitu?"

"Udah, Kak."

"Ya udah, berarti jam tiga, ya? Besok saya bakal tunggu di depan, biar kamu nggak susah carinya."

Linka mengangguk kilat. Namun, baru saja ia hendak membalas, ada interupsi di mana staf perpustakaan menyerahkan tiga buku serta KTM kepada lelaki itu. Dan, secara tak sengaja, Linka dapat menangkap nama yang tercetak dengan jelas di sana, dan ia segera mengejanya secara berulang dalam kepala.

"Nih, bukunya," ujar lelaki bernama lengkap Aldio Zefran Waranggana itu, seraya menyerahkan buku yang sementara akan berada di tangan Linka terlebih dahulu. Tak lupa ia pun mengucapkan terima kasih pada staf tersebut sebelum beranjak pergi.

Linka yang sudah tak lagi memiliki kepentingan di sana pun turut mengambil langkah persis di sampingnya. Kemudian, dengan ragu tapi pasti ia pun bertutur, "Makasih banyak ya, Kak."

"Sama-sama," sahut si lelaki dengan senyum kecil yang terukir di wajah. "Tapi, omong-omong, kamu mahasiswi baru?"

Linka agak terkejut sebab tebakannya tepat sasaran. "Iya, Kak."

"Terus, buku itu beneran untuk ngerjain tugas?"

"Iya, Kak ...."

Seketika Linka mulai merasa was-was, khawatir jika lelaki di sampingnya itu akan menganggapnya aneh atau sejenisnya, sebagaimana yang dipikirkan oleh beberapa teman yang ia kenal di angkatannya hanya karena dirinya yang dianggap ambisius.

Namun, perasaan tersebut dengan cepat terhempas kala Linka melihat lelaki itu mengangguk-angguk dengan lengkungan pada bibir yang tertarik sedikit lebih lebar. Lantas, dari mulutnya pun terucap, "Bagus. Kalau menurut kamu itu memang sumber rujukan yang betul-betul sesuai, kamu pasti bakal dapat hasil yang terbaik, kok." Kemudian, masih dengan senyum yang sama, ia menambahkan, "Semangat, Linka."

Seketika saja Linka pun tertegun dengan pandangan yang hanya terpusat pada lelaki itu--kendati kedua kakinya terus melangkah. Lambat laun, Linka turut merasakan pula bagaimana munculnya perasaan asing yang tidak disangka-sangka. Secara mendadak, Linka betul-betul tidak dapat berpikir dengan jernih.

Hanya saja, satu hal yang pasti, terhitung sejak hari itu, nama beserta sosok nyata sang pemilik menetap di hati dan pikiran Linka, dan terus saja begitu dalam jangka waktu yang tak pernah diduga.

* ੈ✩‧₊˚

bandung, 10 januari 2023

[republish: 30 september 2024]

See You After Midnight [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang