“Jadi, penghuni baru yang disebut-sebut sama mereka itu kamu, ya?”
“M-mereka siapa, Kak?”
“Anak-anak kos, maksudnya.”
“Oh … emangnya, mereka ada ngomongin aku?”
“Bukan ngomongin juga, sih. Cuma pada bingung aja kenapa kamu nggak ikut makan bareng tadi.”
Sebetulnya, atmosfer yang terbentuk di antara mereka terasa begitu canggung--atau mungkin lebih tepatnya hanya Linka yang merasa demikian sebab Zefran sendiri justru tampak santai-santai saja sejak tadi. Laki-laki itu memang sempat terkejut di awal, kemudian dengan mudahnya ia memamerkan lengkungan indah di wajah, dan setelahnya dilemparkannya beberapa pertanyaan pada Linka yang sarat akan rasa ingin tahu.
Kedua insan itu masih berada di dapur umum. Zefran berdiri di dekat kompor sementara Linka sedikit memberi jarak dan membiarkan punggungnya nyaris bersentuhan dengan pintu kulkas.
“Tadi sore aku ketiduran, terus baru kebangun pas dengar suara ramai di luar. Tapi aku tetap diam di kamar, soalnya … malu,” terang Linka yang memilih untuk jujur pada laki-laki berkaus hitam yang masih setia menunggu air matang di sana.
“Malu?” Zefran mengulum senyum saat mengatakannya.
Linka mengangguk dengan kikuk.
“Yah, wajar aja sih, kamu kan penghuni baru,” Zefran menanggapi dengan penuh pengertian. “Tapi, aku berani jamin kalau anak kos sini pada baik-baik, kok. Coba adaptasi pelan-pelan aja, oke?”
Seketika saja Linka pun tertegun, merasa déjà vu. Sebab Zefran pernah menuturkan kalimat dengan nada suara penuh kelembutan seperti itu dan Linka masih dapat mengingatnya dengan sangat baik. Beruntung sekali pencahayaan di dapur cukup minim sehingga Zefran pasti takkan mampu melihat semburat merah yang tanpa bisa dicegah muncul di kedua pipi tirus Linka--kendati warna kulitnya nyaris seputih susu.
“I-iya, Kak,” Linka menyahut singkat, tetapi setelahnya ia merasa keadaan akan jauh lebih terasa canggung jika dirinya berada di sana lebih lama. Maka dari itu, Linka pun dengan cepat melanjutkan, “Kalau gitu, aku balik ke kamar ya, Kak ….”
“Loh, kok mau balik ke kamar?” tanya Zefran dengan kedua alis yang menyatu.
“Eh?” Linka tentu kebingungan sendiri kala Zefran berkata demikian.
“Bukannya kamu ke sini mau masak mi?”
Oh, gawat. Presensi Zefran benar-benar sukses membuat Linka lupa dengan tujuan awalnya ke dapur. Ya Tuhan, kenapa Linka harus memperlihatkan kebodohannya seperti itu, sih?
“Oh, iya, aku lupa ….” Linka hanya mampu memamerkan senyum yang tampak begitu canggung untuk menutupi rasa malu.
Dan tanpa disangka, Zefran justru tertawa kecil karenanya. “Ada-ada aja, kamu," tutur Zefran usai tawanya mereda. Sejenak ia mematikan kompor karena teko sudah berbunyi, yang berarti air di dalamnya sudah matang. “Eh, tapi, kamu emang belum makan malam atau kebetulan lagi lapar aja?”
“Emm, emang belum, Kak,” Linka menjawab sekenanya.
“Kalau gitu, nggak perlu masak mi.”
“Kenapa gitu, Kak?”
“Bu Dina udah simpenin buat kamu, tuh, ada di lemari makan. Kebetulan tadi aku baru makan jam sepuluh karena aku harus ke kosan teman pas yang lain pada kumpul. Terus, Bu Dina nyuruh aku sisain karena katanya ada yang belum makan. Ternyata kamu, ya.”
Sungguh, Linka tidak mengira Bu Dina turut mengingat dirinya yang masih baru di sana. Linka juga baru tersadar kalau dirinya belum mengecek ponsel sejak ia terbangun tadi. Bisa saja Bu Dina mengirimkan pesan terkait hal tersebut padanya, bukan? Jika memang benar, Linka tentu akan merasa bersalah sekali.
“Ya udah, makan, gih.” Vokal berat Zefran kembali terdengar. Kini ia tengah menuangkan air pada gelas, lalu diaduknya. Linka berasumsi kalau laki-laki itu sedang menyeduh kopi instan jika melihat warna cairan dalam gelas tersebut. “Kamu habisin aja lauk sama sayurnya, biar nggak ada sisa. Tapi jangan lupa dicuci ya, bekas piringnya. Bisa-bisa kamu diomelin Bu Dina kalau pagi-pagi bak cuci piring nggak kosong.”
“Iya, Kak,” Linka membalas patuh sembari dirinya meletakkan sejenak bungkus mi instan di atas kulkas, lantas ia tarik satu piring dari rak.
“Kalau kamu mau nyeduh minuman hangat dan kebetulan nggak pakai dispenser di kamar, air di teko masih ada tuh, dan masih panas juga.”
“Oh, iya, Kak.”
“Kalau gitu aku balik ke atas ya, Linka.”
Kali ini Linka hanya diam dan memerhatikan sosok Zefran yang sudah berbalik dan mengambil langkah menuju tangga. Namun, sesuatu dalam diri Linka justru mendorong ia untuk melakukan sesuatu sekalipun itu hanya hal kecil. Maka sebelum Zefran benar-benar menjauh, Linka pun cepat-cepat memanggil laki-laki itu, “Kak Zef?”
Mendengar itu, Zefran kontan saja berhenti dan menengok. Sejenak ia mendorong naik bingkai hitam tipis kacamatanya yang sedikit turun, sebelum menyahut, “Ya?”
Linka menarik kedua sudut bibir tipisnya sebelum dengan tulus berkata, “Makasih banyak, ya.”
Senyum itu pun lekas menular pada Zefran. “Sama-sama, Linka.”
Usai Zefran lanjut melangkah sampai sosoknya menghilang sempurna di balik tangga, perlahan-lahan lengkungan pada bibir Linka kembali membentuk garis datar. Pikirannya mendadak penuh, yang tentunya berhubungan erat dengan apa yang baru saja terjadi di depan matanya.
Bolehkah Linka merasa senang karena keputusannya untuk pindah nyatanya telah membawa dirinya kian dekat dengan sang lelaki pujaan?
Hanya menetap dalam bangunan yang sama … seharusnya tidak apa-apa, bukan?
Kini Linka pun hanya dapat berharap jika hal tersebut takkan menjadi perkara di kemudian hari.
* ੈ✩‧₊˚
bandung, 12 januari 2023
[republish: 1 oktober 2024]
KAMU SEDANG MEMBACA
See You After Midnight [END]
Romance[Reading List @RomansaIndonesia Kategori Cerita Bangku Kampus - Oktober 2023] Hanya butuh waktu singkat bagi Linka Drisana untuk jatuh cinta pada Aldio Zefran Waranggana, seorang kakak tingkat dengan sejuta pesona. Bukan soal fisik belaka, melainkan...