Panji

0 0 0
                                    

"Oi!"

Panji terlonjak, ia menoleh ke arah Dodi dan Putra yang baru saja sampai ke tempat tongkrongan.

"Ngagetin lo dua." Ujarnya dengan nada lesu.

"Lempeng banget, ketular Putra lo?" Komentar Dodi, Putra menoleh sambil mengkerutkan dahi.

"Gua lagi?"

"Ya, lo kan emang lempeng banget, Put. Ngga heran Panji belajar dari siape." Putra mencibir, tak terima tuturan Dodi.

Mereka akhirnya memilih duduk. Dodi sudah lebih dulu mengeluarkan rokok dan HP nya, ia membuka aplikasi game itu.

"Pan, mabar?" Tawarnya. Panji menggeleng.

"Ngga, Di. Lo aja ama Putra. Gua nyebat aja." Panji dengan lempeng mengambil bungkusan rokok yang ada di hadapan Dodi, mengambil satu batang lalu mulai membakarnya. Menghisap lalu ia hembuskan, asap-asap mulai berkumpul.

Dodi dan Putra saling pandang. Aneh.

"Coy!" Mereka menoleh ke sumber suara, Arif muncul dengan nafas yang tersengal.

"Dikejar hantu lo?" Tanya Putra heran, sambil menaikkan sebelah alis nya.

"Tadi mobil civic putih depan gua mogok. Makanya gua buru-buru kemari." Jelas Arif seraya duduk.

"Dimana mogok nya?" Tanya Panji.

"Di perempatan. Banyak yang ngeluh tadi, sempet di serempet juga sama orang, jahat banget anjir. Kasian padahal." Jawab Arif sambil menunjuk arah perempatan yang dimaksud.

"Salah sendiri juga, mobil elit tapi bensin sulit." Komen Dodi sinis.

Brakk!

"ANJIM!" Pekik Dodi, HP nya bahkan sudah tergelat di meja. Ia menoleh pada Panji yang sudah berjalan jauh. "PAN! LO MAU KEMANA?!"

Dodi berdiri, berniat menyusul.

"Di." Dodi menoleh, menatap Putra yang menggeleng. "Biarin."

"Si Panji pergi, Put." Putra mengangguk.

"Dari tadi dia diem, aneh. Ngga kayak biasa. Kakak nya pasti berulah, makanya dia kayak gitu." Jelas Putra, membicarakan kondisi hubungan Panji dengan Kakak kandung anak laki-laki itu.

Semenjak Ayah Panji keluar dari rumah, Ibu nya menikah lagi dengan pria lain. Membuat kondisi rumah kacau, dan Adina—Kakak Panji—masuk rumah sakit jiwa.

Saat divonis sembuh, Adina bahkan sudah tidak mau melihat wajah Panji. Adina masih beranggapan bahwa Ayah pergi dari rumah disebabkan oleh Panji. Orang tua mereka bercerai karena Panji. Semua salah Panji.

Panji akhirnya memutuskan menyewa kos-kosan milik keluarga David, dan memulai kehidupan sebagai anak kos.

Tetap saja, Panji tetap peduli pada Adina. Ibu nya terlalu sibuk dengan dunia nya yang baru dari pada mengurusi anak yang ia lahirkan lebih dulu.

Adina yang butuh kasih sayang lebih malah dibiarkan, Panji takut jika lama-kelamaan penyakit Adina akan kambuh.

Panji menarik gas motornya kencang, ia berbelok saat mendapati perempatan.

Langsung saja, ia sudah melihat mobil civic putih itu.

Ia pinggirkan motornya lalu memarkirkannya disana. Ia lantas mendekat ke pintu pengemudi, dan membukanya kasar.

"Keluar." Perintah Panji pada kakak nya, namun gadis itu hanya diam. "Ck."

Panji menarik paksa lengan kakak nya, dan mencabut kunci mobil yang terpasang. Ia bawa kakak nya menuju motor yang ia parkirkan, dan mengenakan helm pada kepala kakak nya.

"Ngapain lo kesini?!"

"Diem. Lo boleh benci gua, tapi sekarang lo pulang. Mobil biar gua yang urus."

"Jangan pikir gua udah maafin lo ya, Irfan. Gua masih benci sama lo!" Ujar tegas Adina dan menyambar tali helm yang hampir Panji pasangkan.

"Ya." Panji menaiki motornya, menghidupkannya. Saat Adina sudah berada di belakang, ia menarik gas dan pergi dari sana.

"Benci gua sebanyak yang lo mau. Tapi, tolong jangan pergi kayak Ayah."

***

Putra & YoghurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang