Gadis Yoghurt

0 0 0
                                    

Olifia mengemasi barang-barang yang ia keluarkan saat awal kelas tadi. Baru saja dosennya keluar, para mahasiswa di kelas itu pun sibuk dengan urusannya masing-masing.

"Olif." Olif menoleh ke kiri, tempat seorang pria tersenyum memanggil.

"Oh, Mahesa. Kenapa, Hes?" Olif berhenti sejenak dalam aktivitasnya dan menatap Mahesa.

"Untuk tugas yang kemarin, lo ada waktu? Kita harus secepatnya bahas." Tuturnya, Olif membulatkan mulutnya lalu mengangguk.

"Ohh, gue ada waktu terus kok, Hes. Waktunya lo tentuin aja, gimana? Lo juga sibuk kan, budak organisasi." Goda Olif diakhiri oleh tawa. Mahesa menyeringai, ia mengangguk dan sepakat.

"Disti gimana? Eh, hari ini dia ngga masuk ya?" Olif bertanya seraya menoleh ke kanan kiri mencari sosok teman satu kelompoknya yang lain.

"Dia ambil cuti kuliah, Lif, beberapa hari kemarin."

"Tiba-tiba banget? Yaudah, deh, kita aja yang bahas. Kita mau bahasnya dimana? Ohh, kalo engga lo yang atur jadwal dan gue yang atur tempat? Nanti gue kabarin dimana tempat yang bener-bener nyaman buat nugas. Ini tugas matkul wajib, kan. Harus ekstra berarti. Ohh, terus, untuk hardware nya biar gue aja yang urus." Mahesa mengangguk. Sedikit terpana dengan tuturan yang Olif miliki. Ngga heran teman-teman yang lain kadang ikut terpana saat Olif mampu menjawab pertanyaan dari dosen.

Mahesa menangkap sebotol kecil yoghurt di sisi samping tas Olif. Ah iya, gadis yoghurt, batin Mahesa.

"Lo habis ini kemana, Lif?" Tanya Mahesa.

"Hm? Mau ke gedung sebelah."

"Ekonomi?" Olif mengangguk semangat dengan senyum yang mengembang.

"Kenapa memangnya, Hes?"

"Mau bareng?"

"Oh? Lo juga mau kesana? Yaudah, ayo." Olifia beranjak berdiri, menuju pintu keluar diikuti Mahesa.

Sesekali tampak Mahesa membuka topik tentang perbincangan mereka sebelumnya, tugas matkul wajib itu. Di jalan, Olif mengambil yoghurt nya dan mulai meneguk yoghurt cair itu.

"Lo suka banget yoghurt, Lif." Komentar Mahesa, Olif mengangguk dan tertawa.

"Enak, tau, Hes. Lo ngga suka?"

Mahesa menggeleng, "gue ngga suka yang berbau susu."

"Yah, sayang banget, padahal enak gini." Tutur Olif, seraya kembali menyedot minumannya. Melihat itu Mahesa tersenyum, seakan mengingat seseorang yang memiliki sifat yang mirip seperti Olifia.

Hingga saat gedung Ekonomi sudah terlihat, Olifia terperanjat kaget saat bahu nya sudah di rangkul oleh dua orang anak laki-laki.

"EYY!! Gabung dong." Panji merangkul Olif dan Mahesa sekaligus, berada tepat di tengah Mahesa dan Olif. Dan, di sisi kanan Dodi merangkul Olif, sedikit menarik jauh jarak Olif.

Dodi sudah sadar dengan situasi ini sejak Mahesa keluar berbarengan dengan Olif, dan tentu saja hal itu membuat Dodi menyenggol kecil dan memberi tunjuk dagu kepada Panji.

Mengingat bagaimana sikap yang akan Putra paparkan jikalau ia melihat ini, sudah membuat mereka begedik ngeri.

Putra bukanlah ketua, namun, amarah dan emosi nya lah yang paling menonjol antara mereka berlima. Tampak sangat dominan. Sifat tegas namun tenang, Putra cukup dikenal karena memiliki sifat tersebut. Ah, sifat lempeng dan lesu nya hanya ia tunjukkan pada keempat sohib nya dan Olifia, orang-orang kepercayaannya.

"Lo dua ngapain?" Tanya Olif, menoleh pada mereka yang belum melepas rangkulannya.

"Baru kelar kelas juga, Lif. Lo berdua juga?" Tanya Panji.

"Heem. Ini mau jalan ke gedung Ekonomi."

Panji dan Dodi mengangguk-angguk, lalu menoleh dan menatap Mahesa.

"Lo?" Tanya mereka serempak.

"Mahesa, bro."

"Ya, kita tau. Si budak organisasi. Maksud gua, lo mau kemana?" Tanya Panji dengan nada sewot. Ah, jika tidak akan terjadi perang dunia Panji ogah saja berdiri disini. Ia lebih baik menyelesaikan game nya yang terpaksa AFK.

"Oh, gue ada rapat. Sekalian aja bareng Olif." Mereka kembali mengangguk-angguk.

"Selain budak orga, rupanya lo budak ngumpul juga, ya." Komen Olif dengan wajah polos.

"Ini ngga jahat, sih, tapi model Olif yang mahasiswa Kupu-kupu apa ngga malu-maluin?!" Batin Dodi, tak habis pikir.

"Haha, ngga sejelek itu, kok, Lif. Lo kalo penasaran gue kenalin ke ketua orga gue biar lo ditarik."

"Serius?! Gue kepo banget, pengen ikut."

"Aman, nanti gue laporan dulu."

"Sip. Ditunggu kabarnya, Hes." Panji dan Dodi ternga-nga mendengar percakapan mereka. Terlebih Panji yang sudah muak.

"Ini guna nya gue ikut si Dodi apaan, anjing?! Putra sialan, kalo bukan karena sifat bocah lo, ngga bakal disini gua, bangke!!" Panji tersenyum ke arah Dodi.

"Kenapa lo senyum gitu, Pan? Geli, nying. Kayak orang kelainan seksual."

"Sekali lagi lo ngomong, gua musnahin PS 5 lo ya bangsat."

"Mainan lo cuma ancaman aja gua lihat-lihat, Pan. Cemen." Dodi membalik jempol nya kebawah dengan bibir yang dimajukan, mencibir.

"Lo pada kalau mau berantem jangan di depan cewe gua, oon."

Mereka berempat menoleh ke belakang, menatap Putra yang sudah berdiri dengan merangkul sebahu tas ransel hitamnya.

"Hobi banget lo muncul tiba-tiba gitu ya, asu." Panji sewot, dia buru-buru melepaskan rangkulannya dan pergi dari sana. Urusannya selesai.

"Heh, Pan!" Pekik Dodi, Panji tak peduli dan masih pada langkahnya.

"Gue baru aja mau ke tempat lo." Jelas Olif. Putra membentuk mulut berhuruf O. Lalu menoleh pada Mahesa.

"Hes, udah di tungguin tuh." Putra menunjuk menggunakan dagu ke arah beberapa mahasiswa yang tampak berunding.

"Oalah, oke. Thanks, Put. Duluan ya, Lif. Nanti gua omongin ama ketua tentang yang tadi." Pamit Mahesa lalu langsung pergi menuju ke beberapa mahasiswa disana.

Putra menoleh ke Dodi, dia menautkan alis.

"Ngapain lo?" Tanya nya.

"Hah?"

"Motor lo ntar dicolong Panji, bego."

"LAH IYA KUNCI NYA AMA DIA, ANJING!" Pekik Dodi sambil menarik kasar rambut nya. "WOI PANJI! MOTOR GUA!"

Dan, tersisa lah Olif dan Putra. Mereka saling pandang.

"Ayo, gua antar pulang." Ajak Putra sambil menunjuk ke arah parkiran. "Ngga usah repot-repot nyari gua ampe pindah gedung gini. Gua yang bakal ke tempat lo terus."

"Iya."

"Tadi yang diomongin Mahesa apa?"

"Engga." Olif menggeleng, ia lalu melempar botol yoghurt nya yang tak bersisa ke tong sampah yang sedikit jauh dari tempatnya berdiri. Masuk!

"Yaudah, ayo."

Putra mengambil tangan Olif, lalu menggenggamnya. Jari-jari mereka tertaut. Olif berjalan dengan langkah ringan disamping pacarnya.

***

Putra & YoghurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang