Badai. Entah apa yang dipikirkan kedua orang tuanya saat memberinya nama itu dulu. Apakah itu sebuah do'a agar ia bisa menghadapi semua kesulitan hidup yang datang layaknya badai, ataukah justru kehadirannya sendiri yang merupakan 'badai' bagi kehidupan keluarganya.
Ayahnya dulu selalu menyalahkan dirinya karena sejak ia lahir, begitu banyak hal buruk yang menimpa keluarga kecilnya. Satu tahun semenjak Badai lahir, usaha yang ia rintis bertahun-tahun bangkrut begitu saja. Di tambah lagi sang istri menjadi sering sakit. Beratnya beban yang di tanggung Ayah menjadikan lelaki itu menjadi sosok yang keras dan pemarah. Meski begitu, sang Ayah tetap melaksanakan kewajibannya sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah, walaupun harus dengan cara yang salah. Tindakan Ayah Badai yang keras kemudian seakan menular kepada anak pertamanya, kakak dari Badai, Bara namanya.
Hubungan Bara dan Badai sejak dulu tak pernah baik. Seiring bertambahnya umur dan kedewasaan, Badai dapat menyimpulkan bahwa jarak yang ada diantara ia dan kakaknya salah satunya di sebabkan oleh sifat dan tindakan Ayah yang keras dan pemarah. Maka dari itu, ketika sang kakak memutuskan untuk pergi setelah Ayah masuk penjara dan Bunda dilarikan ke Rumah Sakit Jiwa beberapa tahun yang lalu, Badai tidak terkejut. Dari awal ia tidak berharap Bara akan menemani dan memberinya ketenangan selayaknya seorang kakak yang seharusnya menjadi sandaran sang adik.
Sejak saat itu, Badai tinggal bersama Paman dan Bibinya, Paman adalah adik dari Ayah. Meski kehidupannya disana tak bisa di bilang baik, karena Paman sering kali bermain tangan padanya, sama seperti Ayah dulu. Badai tak punya banyak pilihan, ia harus bersyukur setidaknya Paman dan Bibi bersedia memberinya makan dan membayar biaya sekolahnya.
Bagaimana dengan Bara?
Bahkan lelaki itu tidak pernah menunjukkan batang hidungnya sejak pergi beberapa tahun lalu. Tepat setelah Bunda mereka di bawa ke Rumah Sakit Jiwa.
Maka dari itu, melihat Bara yang sedang duduk menyilangkan kaki di depan televisi sontak membuat Badai terkejut setengah mati. Ini sudah dan hampir jam tujuh malam dan Badai baru saja sampai di rumah karena ia tidak langsung pulang setelah sekolah. Rencananya untuk langsung tiduran di kamar sepertinya harus pupus.
Meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertemu sang kakak, nyatanya bukan rindu yang Badai rasa, melainkan hampa. Karena baginya, ada atau tidak sang kakak terasa sama saja. Bahkan kalau boleh jujur, hidupnya jauh lebih tenang saat Bara tidak ada karena lelaki itu selalu membentaknya di rumah, sama seperti Ayah.
"Baru pulang lo? Kelayapan kemana?" Bara bertanya tanpa menoleh sedikitpun.
Sebenarnya Badai sangat malas untuk menanggapi, tapi bukankah setidaknya dia harus menghargai tamu.
"Bukan urusan lo. Ngapain lo di sini?" Jawabnya tak kalah ketus, kemudian dia duduk di salah satu sofa.
"Buset! Makin kurang ajar lo! Abang lo baru pulang nih, di kasih sambutan kek, di tanyain kabar apa gimana. Nggak ada tata krama banget!" Umpat Bara bertubi-tubi.
Namun Badai hanya berdecih malas. "Habis pulang dari minggat ngapain pake di sambut segala. Kurang kerjaan banget."
"Eh.. bangsat! Mau gue hajar lo!" Bara tiba-tiba berdiri dan menatap nyalang pada Badai.
Badai memutar matanya tak mau betatapan. Ia sungguh malas menghadapi kakaknya ini. bertahun-tahun hilang seperti di telan bumi ternyata membuat kelakukan buruknya semakin parah.
"Lo ada urusan apa sih ke sini? Buruan selesaiin terus pergi. Mumpung Om sama Tante belum pulang." Ujar Badai. Dia tidak benar-benar peduli pada sang kakak, melainkan hanya ingin Bara segera pergi dan tidak terlihat di hadapan matanya lagi. Namun, Bara justru tertawa secara tiba-tiba dan membuat Badai mengernyit tak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixing the Broken
Ficção GeralKamu adalah Samudra. Yang tenangnya adalah tipuan. Menutupi segala gemuruh lara di dalam sana. Mereka bilang, menatapmu hanya akan membawa kembali perih yang memang tak pernah hilang. Hadirmu tak di inginkan. Namun, hilangmu menjadi luka yang tak...