"Mulai sekarang, Samudra ikut aku."
"Apa? Ikut kemana?" Tanya Ayah.
Namun, alih-alih menjawab pertanyaan Ayah, Arnesh justru melempar pandang pada Samudra.
"Lo kalo mau ikut gue, kemasi barang-barang lo sekarang juga, gue tunggu satu jam, kalo barang-barang lo belum ada di mobil, gue tinggal."
Samudra tidak tahu harus memberikan respon bagaimana. Perintah Arnesh terlalu mendadak dan diucapkan di waktu yang sangat tidak tepat. Samudra masih meringis merasakan sakit di hampir sekujur tubuhnya.
"Aku mau ngomong sama Ayah." Setelah itu Arnesh pergi setelah memberi isyarat pada sang Ayah untuk mengikuti.
Kedua lelaki dewasa berbeda usia itu sudah sampai di ruang keluarga. Panji menarik lengan Arnesh supaya lelaki itu berhenti berjalan dan membuat mereka saling berhadapan.
"Maksud kamu apa mau bawa Samudra?"
"Ayah sadar nggak sih apa yang ayah lakukan? Mukulin Samudra kayak gitu."
"Samudra itu harus ditegasin biar dia nggak males dan kurang ajar."
"Tapi nggak harus pakai kekerasan kan?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Arnesh. Panji justru menanyakan hal lain, berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Bukannya kamu benci sama dia? Ngapain kamu ngajak dia tinggal sama kamu. Yang ada dia makin stress kamu caci maki tiap hari."
Arnesh mendecih. "Ayah yakin kalo di rumah ini anak itu nggak stress."
Respon Arnesh rupanya sedikit menyulut emosi Panji. "Apa kamu bilang?"
Arnesh lagi-lagi membuang pandang sebelum kembali menatap manik mata sang Ayah.
"Enggak. Pokoknya anak itu ikut tinggal di rumah aku. Titik." Jawabnya sebelum pergi tanpa memberi kesempatan Panji bicara lagi.
***
Samudra mematut dirinya di depan cermin. Cowok itu menyingkap kaos yang dia kenakan, berputar ke kanan kiri melihat-lihat apakah ada lebam baru atau tidak. Ada beberapa ruam biru meskipun tidak terlalu jelas. Perhatian Samudra masih terfokus pada tubuhnya sebelum suara pintu kamar di buka dari luar terdengar dan membuatnya gelagapan. Tak lama setelahnya Arnesh muncul dari balik pintu dan membuat Samudra buru-buru menurunkan kaosnya.
"Ngapain lo?" Tanya Arnesh curiga.
"Enggak." Samudra menjawab dengan gugup. Untung saja sepertinya kakaknya tidak berniat memperpanjang percakapan.
"Buruan. Gue tunggu nggak lebih dari satu jam."
Setelah kakaknya pergi. Samudra segera mengemasi barang-barangnya dan membutuhkan waktu kurang dari satu jam. Hanya membawa yang menurutnya penting. Kalau ada yang tertinggal, nanti bisa di ambil lagi, pikirnya. Walaupun hatinya masih bertanya-tanya, tapi keinginan untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan jauh lebih besar. Sebelum kakaknya berubah pikiran.
***
Gemuruh suara hujan di luar berbanding terbalik dengan kesunyian yang ada dalam mobil hitam yang sedang ditumpangi Arnesh berserta sang adik. Setelah kepergian mereka dari rumah ayah beberapa menit yang lalu, belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Samudra sebenarnya masih bingung, jika bisa dideskripsikan, keadaan batinnya sekarang adalah antara sangat bahagia dan sangat bingung. Bagaimana tidak, entah terkena sihir apa Arnesh tiba-tiba mengajaknya tinggal bersama.
Samudra sih senang-senang saja, justru ini yang sangat dia inginkan. Tapi alasan sang kakak berubah pikiran secepat itu masih menjadi pertanyaan besar untuknya. Sempat terpikir olehnya, apa mungkin Arnesh ini kasian melihat Ayah memukulinya tadi. Tapi kemarin Arnesh sendiri yang mengatakan bahwa tidak akan pernah peduli pada dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fixing the Broken
Fiksi UmumKamu adalah Samudra. Yang tenangnya adalah tipuan. Menutupi segala gemuruh lara di dalam sana. Mereka bilang, menatapmu hanya akan membawa kembali perih yang memang tak pernah hilang. Hadirmu tak di inginkan. Namun, hilangmu menjadi luka yang tak...