Arnesh masih termenung di sofa ruang tamu setelah Samudra meninggalkannya beberapa waktu yang lalu. Lagi, ia mengusap wajahnya kasar, berusaha mengusir perasaan tidak nyaman yang belum juga enyah. Masih tetap meyakinkan diri bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa tidak ada yang perlu ia khawatirkan dari Samudra. Tapi ternyata, menipu diri sendiri tidak semudah itu. Arnesh berdecak, lelaki itu kemudian berdiri, lalu berkacak pinggang sembari menunduk. Lagi dan lagi, otak dan hatinya memberikan instruksi yang berbeda. Dadanya sesak tanpa sebab.
Lelaki itu masih berpikir, mana hal yang akan membuat hatinya tenang. Tetep berada disini dan meyakinkan diri bahwa tidak ada yang perlu di khawatirkan atau ia harus menemui Samudra untuk memastikan semuanya sehingga setelah itu ia bisa tidur dengan tenang. Kemudian suara itu muncul. Kalimat terakhir yang Samudra ucapkan sebelum anak itu pergi kembali terngiang di telinganya.
"Terus gue bisa apa? Gue harus gimana lagi? Menghilang?"
Lalu tanpa berpikir panjang lagi Arnesh berlari menuju kamar Samudra. Karena sederet kalimat yang di ucapkan anak itu, mampu membuat Arnesh kehilangan akal sehatnya.
Menghilang.
Entah kenapa satu kata itu menjadi yang paling sulit hilang dari pikiran. Arnesh belum siap kehilangan lagi, siapapun itu. Lelaki itu segera membuka pintu kamar Samudra sesampainya disana. Pandangan matanya liar menjelajah ruangan itu, namun tak ia temukan siapapun disana.
Kini detak jantungnya semakin kencang. Tubuh Arnesh menegang. Ini aneh, ia semakin merasa ada yang tidak benar. Lalu, ia terpaku pada pintu kamar mandi yang tertutup. Sayup-sayup ia dengar air mengalir dari dalam sana.
Sial.
Otaknya mulai memikirkan hal-hal mengerikan. Ia seperti di tarik kemasa lalu, saat kelam dimana ia melihat dengan matanya sendiri sang istri meregang nyawa. Tanpa berlama-lama Arnesh berlari menuju depan pintu kamar mandi. Dengan nafas memburu ia buka pintu itu tanpa permisi. Disanalah ia terpaku, ketika ia kembali dihadapkan pada kelam yang menyesakkan. Bagaimana matanya menangkap tubuh sang adik tenggelam di dalam bathtub, tanpa pergerakan.
Arnesh terpaku beberapa saat. Kedua kakinya seakan menancap tak dapat digerakkan.
"Brengsek!"
Hingga akhirnya ia kembali sadar. Ia tarik dengan kasar kedua tangan Samudra hingga tubuh anak itu kembali ke permukaan. Letupan dalam dada Arnesh semakin menyakitkan. Rasanya ia ingin meluapkan semua umpatan yang ada dalam otaknya.
"Bego! Mau lo apa sih?"
Samudra terbatuk-batuk. Tangannya sibuk memegangi dada yang terasa seperti akan meledak. Nafasnya tak beraturan. Tubuhnya terus bergerak tak nyaman. Nyata sekali bahwa anak itu kesakitan. Arnesh beruntung ia menemukan Samudra disaat yang tepat. Belum terlalu lama sejak Samudra menenggelamkan diri.
Arnesh memundurkan tubuhnya, memejamkan mata sembari menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengembalikan akal sehatnya yang sempat hilang. Setelah dirasa lebih baik, ia kembali mendekat ke arah sang adik. Meski degup jantungnya belum kembali seperti semula, tapi ia tak menyangkal bahwa setidaknya ia telah merasa lebih lega.
Samudra menunduk, tangan kanannya menggenggam erat pinggiran bathtub sebagai usaha agar ia tetap kuat. Meski nafasnya belum kembali normal, namun setidaknya anak itu sudah dapat duduk diam.
"Mau lo apa gue tanya?" Arnesh menatap Samudra tajam. Kedua tangannya berkacak pinggang, begitu kesal dengan kelakuan Samudra barusan.
"Lo mau mati? Kalo iya paling enggak jangan di depan gue. Jangan bikin gue repot. Masih nggak puas bikin hidup gue susah selama ini?"
"Iya, besok gue coba di tempat lain. Gue jamin lo nggak bakal liat mayat gue." Samudra menjawab lirih dengan sedikit tenaga yang ia miliki.
Namun, jawaban Samudra justru membuat amarah di hati Arnesh semakin membara. Lelaki itu mengusap wajahnya kasar. Benar-benar tidak suka dengan jawaban Samudra barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixing the Broken
Fiksi UmumKamu adalah Samudra. Yang tenangnya adalah tipuan. Menutupi segala gemuruh lara di dalam sana. Mereka bilang, menatapmu hanya akan membawa kembali perih yang memang tak pernah hilang. Hadirmu tak di inginkan. Namun, hilangmu menjadi luka yang tak...