Petrikor dari luar yang merayap masuk melalui celah jendela kaca melebur dengan bau kopi yang saat ini menemani Arnesh dan Rafa. Bagi Arnesh, Rafa bukan sekedar sepupu yang lahir dari rahim tantenya. Tapi Rafa adalah sahabat dan saudara tempat Arnesh mengeluhkan segala hal sejak dulu. Meskipun komunikasi mereka sempat berkurang sejak Arnesh pindah ke Korea Selatan, tapi nyatanya Rafa masih menjadi tempat bercerita paling nyaman baginya.
Seperti saat ini, ketika Arnesh di buat bingung dengan banyak hal semenjak kepulangannya ke tanah air. Dia tidak punya tempat bercerita selain pada Rafa. Jadilah Arnesh menculik sepupunya itu ke sebuah cafe sore ini.
“Terus rencana lo sekarang gimana?” Tanya Rafa
“Rencana apaan?” Tapi Arnesh malah balik bertanya dan itu sukses membuat Rafa berdecak sebal.
“Nggak usah sok bego.” Jawabnya kesal.
Arnesh terkekeh ringan. Lucu juga mengerjai sepupunya ini.
“Gue udah ada kerjaan, Raf. Lo nggak usah khawatir.” Arnesh menjawab dengan serius kali ini.
“Kerja apaan? Cepet amat.”
“Gue ditawarin kerja jadi Manager cafe. Lo tahu kan? Yang di deketnya SMA Diponegoro. Itu yang punya bokapnya client gue pas di Korsel.” Jawab laki-laki dua puluh enam tahun itu.
“Client yang lo suka editin video Youtube nya?” Tanya Rafa lagi.
“Iya, kan dia tahu dulu gue di Korsel juga kerja part time di cafe. Gue juga masih ngelanjutin freelance gue buat edit video-video dia. Udah deh, lo nggak usah khawatir kalau masalah kerjaan gue.” Jawab Arnesh meyakinkan Rafa. Tapi, hal itu justru membuat Rafa berdecak kesal lagi. Rafa pun melayangkan jitakan ke kepala sepupunya itu.
“Auuwh. Apa-apaan sih lo.” Arnesh mengaduh. Memandang kesal ke arah Rafa.
“Siapa juga yang khawatirin elo. Pede banget jadi orang.”
“Ya terus lo ngapa nanya-nanya. Udah deh lo itu kalo peduli nggak usah sok gengsi segala. Gue tahu lo sayang sama gue.”
Dari dulu Arnesh sebenarnya bukanlah orang yang akan tertawa terbahak-bahak karena lelucon receh, tapi laki-laki itu masih bisa bercanda dan tersenyum tulus saat bersama orang yang tepat.
“Nyesel gue nanya.”
Beberapa detik setelahnya hanya diisi dengan diam. Hingga Rafa teringat akan sesuatu yang ingin dia diskusikan dengan Arnesh.
“Ar, tapi lo tahu kan kalo adek lo sekolah di situ. Maksud gue di SMA Diponegoro.”
Rafa tahu Arnesh masih belum bisa menerima Samudra di dekatnya. Maka dari itu dia bertanya, apa sepupunya itu baik-baik saja, karena jika lokasi cafe tempat Arnesh bekerja dekat dengan sekolah Samudra, maka kemungkinan mereka akan sering bertemu juga lebih besar.
Untuk sejenak Arnesh tidak berkata apapun. Hingga helaan nafas keluar dari hidung laki-laki itu.
“Sebenarnya gue ngajak lo kesini juga karena ada yang mau gue tanyain ke elo. Sebenarnya sih, lebih ke minta pendapat.” Jawab Arnesh kemudian.
Rafa hanya mengernyit tidak paham. Tapi dia tidak bertanya dan membiarkan Arnesh melanjutkan kalimatnya.
“Gue jahat nggak ya sama Bunda. Kalo gue nggak mau mewujudkan permintaan terakhirnya?”
Suara Arnesh terdengar lirih. Menandakan bahwa laki-laki itu memang sedang dilanda kebingungan. Sebagai anak, tentu saja sebenarnya Arnesh tidak tega jika harus menolak permintaan terakhir Rania. Tapi di sisi lain, dia merasa benar-benar tidak bisa jika harus berdekatan dengan Samudra dalam jangka waktu lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixing the Broken
General FictionKamu adalah Samudra. Yang tenangnya adalah tipuan. Menutupi segala gemuruh lara di dalam sana. Mereka bilang, menatapmu hanya akan membawa kembali perih yang memang tak pernah hilang. Hadirmu tak di inginkan. Namun, hilangmu menjadi luka yang tak...