3 tahun yang lalu
"Adek ujian kurang berapa bulan?" Raline bertanya sambil melirik Samudra yang duduk di kursi belakang. Perjalanan pulang kali ini agaknya sedikit kemalaman karena Samudra merengek minta mampir ke tempat makan dengan alasan perutnya keroncongan sejak siang.
"Tiga bulanan mungkin." Jawab anak yang masih mengenakan seragam putih-birunya itu. Samudra baru saja selesai bimbingan belajar untuk mempersiapkan Ujian Nasional SMP nya.
"Udah mau SMA aja kamu dek." Ucap Ralinee setengah meledek.
"Udah mau SMA tapi kadang kelakuan masih kayak anak TK." Arnesh yang tadinya fokus menyetir kini ikut menimpali.
Terdengar hembusan nafas dari belakang yang membuat Raline terkikik kecil. Setelah itu, ketiganya fokus pada jalanan sehingga hening beberapa saat.
Samudra yang tadinya menatap keluar mobil sambil melamun, tiba-tiba menoleh ke depan karena teringat sesuatu.
"Pas acara kelulusan gue nanti, lo bisa dateng nggak kak?"
Arnesh nampak sedikit terkejut, sebelum merespon. "Emang undangannya berapa? Bukannya biasanya cuman dua?"
Samudra mendengus. "Iya sih, ya tapi Ayah sama Bunda kan nggak bisa di pegang omongannya." Terlihat sekali dari ekspresi wajahnya kalau anak itu kesal.
"Jangan ngomong gitu lah. Ayah sama Bunda juga cari nafkah buat lo."
"Ya ya... Lo mah dari dulu minta apa juga di turutin, ngajak kemana juga juga di ayo in." Timpal Samudra masih dengan nada kesal yang langsung di balas lirikan tajam dari sang kakak, Samudra dapat melihatnya dengan jelas karena ia duduk di sisi kiri tepat di belakang Raline.
"Mulai lagi kan? Udah berapa kali gue bilang, gue nggak suka lo bahas itu. Pas kayak gini nih, mirip banget sama anak TK. Dikit-dikit bilang, 'lo mah enak' 'Iya,iya anak kesayangan Ayah'. Taraf sayang Ayah sama Bunda ke kita tuh sama, dek."
Samudra diam, tidak menjawab secara lisan. Tapi dalam hati, anak itu menjawab.
"Tapi seinget gue lo nggak pernah di pukul sama Ayah kalau nilai lo jelek. Yah, atau emang karena nilai lo emang nggak pernah jelek sih. Tuntutan Ayah sama Bunda ke kita sama kak. Cuman lo dengan mudah bisa memenuhi semua itu. Sedangkan gue harus jungkir balik. Tapi mereka nggak bisa ngerti." Katanya dalam hati.
"Tanya aja sama Kak Raline. Pernah liat nggak Bunda sama Ayah nunjukin kasih sayang yang berat sebelah sama kita?" Lanjut Arnesh.
Wanita anggun di sebelahnya itupun terlihat meningat-ngingat, lalu menggeleng. "Kayaknya enggak sih." Jawabnya.
"Ya udah iya." Samudra menyerah. Dari pada harus berdebat dengan kedua kakaknya. Ia lebih memilih mengalah saja.
Bukan tanpa alasan Samudra berkata demikian. Sejak ia kecil, ia sudah dapat merasakan perbedaan itu. Kepentingan Arnesh selalu jadi priotitas di banding kepentingnnya. Dulu Arnesh pernah minta di ajak ke taman safari jika dia menjadi juara kelas, tentu tanpa ragu kedua orang tuanya menyetujui, dan ya, mereka pergi ke taman safari saat liburan semester. Lalu, melihat keberhasilan kakaknya itu, Samudra mencoba di semester berikutnya. Ia meminta di ajak ke Sea World jika berhasil mendapat juara satu. Saat itu, kedua orang tuanya setuju. Samudra berhasil mendapat juara satu, tapi harapannya pergi ke Sea World harus pupus karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Padahal bisa saja mereka pergi saat Ayah dan Bunda sedang libur, saat akhir pekan mungkin, seperti liburan ke taman safari tahun lalu untuk menepati janji mereka pada Arnesh.
Samudra yang saat itu masih kecil tentu belum dapat berpikir bijak. Bukan kah ingatan anak-anak sangat kuat bahkan sering kali masih membekas walaupun usianya bertambah. Juga, kejadian itu bukan satu-satunya. Banyak hal lain yang tak dapat di mengerti secara bijak oleh Samudra kecil sehingga membekas hingga sekarang. Samudra tidak membenci Arnesh juga kedua orang tuanya, sama sekali tidak. Ia tahu Arnesh menyayanginya. Ia juga tahu kedua orang tuanya menyayanginya, tapi ia ragu apakah tingkat rasa sayang itu adil antara ia dengan sang kakak. Sehingga, terkadang rasa iri itu muncul tanpa aba-aba dan pertanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixing the Broken
General FictionKamu adalah Samudra. Yang tenangnya adalah tipuan. Menutupi segala gemuruh lara di dalam sana. Mereka bilang, menatapmu hanya akan membawa kembali perih yang memang tak pernah hilang. Hadirmu tak di inginkan. Namun, hilangmu menjadi luka yang tak...