21 ✍️

3.2K 259 21
                                    

Arnesh memukul meja kerja nya yang tidak bersalah. Lelaki itu kesal, niatnya menyelesaikan pekerjaan terganggu karena pikirannya sendiri tidak fokus. Padahal ia harus segera menyelesaikan laporan yang tertunda karena ia pulang awal. Jujur saja ia sengaja pulang awal memang karena khawatir dengan keadaan Samudra. Entah sejak kapan ia berani memperlihatkan kepeduliaannya terang-terangan begini. Tapi, kini fokusnya terpecah karena otaknya terus-terusan mengulang kalimat Samudra tadi siang.

"Tapi gimana kalau 'besok' yang lo maksud itu dateng, justru gue yang udah hilang?"

Ia ingat saat Samudra mengatakan kalimat terakhirnya tadi siang. Ia tak mampu menjawab apapun. Entah kenapa ia ketakutan hingga tubuhnya menegang. Tanpa sadar ia bergeming untuk beberapa saat tanpa melakukan apapun. Sebelum ia pergi seperti orang bodoh.

Sial.

Umpatnya dalam hati. Kalimat panjang itu masih setia berputar dalam kepala. Dia mengusap rambutnya kebelakang sembari menarik nafas dalam, berusaha mengembalikan fokus meski tidak berhasil. Ia melirik jam weker digital yang duduk manis di atas nakas. Pukul 7 malam. Itu artinya ia sudah satu jam duduk di depan layar laptop tanpa menghasilkan apapun.

Arnesh beranjak. Secangkir kopi mungkin bisa sedikit membantu, pikirnya. Namun, belum sempat ia sampai di dapur, suara bel dari luar memaksaknya membatalkan niat. Segera ia membuka pintu dan mendapati Om Surya di sana.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, masuk Om." Arnesh mempersilahkan.

"Om sendiri?" Tanya Arnesh sambil mengikuti langkah Surya dari belakang.

"Iya, tante sama Rafa ada urusan. Katanya Samudra sakit?" Surya duduk di sofa tanpa dipersilahkan. Tentu Arnesh sama sekali tidak keberatan.

"Iya, demam anaknya." Arnesh ikut duduk.

"Rafa udah cerita dikit." Jawab Surya yang tidak disangka Arnesh sebelumnya. Surya seakan mengatakan secara tidak langsung bahwa ia sudah tahu keadaan Samudra dan apa yang sudah terjadi pada anak itu.

Arnesh bingung harus menjawab bagaimana, alhasil dia hanya diam.

"Makasih udah jaga Samudra ya, Ar." Surya tersenyum tulus. Tapi Arnesh masih tidak tahu harus memberikan respon bagaimana.

"Terima kasih buat apa?" Batinnya. Sungguh ia tak tahu mengapa Om Surya harus mengatakan itu. Arnesh merasa seakan Om Surya menyatakan bahwa merawat Samudra adalah hal besar yang bisa dilakukan olehnya, seakan itu bukan hal wajar.

"Iya, Om." Akhirnya ia megiyakan saja dari pada tidak menjawab apapun.

"Om mau ketemu Mudra dong. Dia lagi tidur nggak ya?"

"Di cek aja dulu, Om. Ada di kamar kok dia."

Lalu Arnesh mengantar Surya menuju kamar Samudra dan membukakan pintunya. Setelah ia yakin Samudra tidak tidur, anak itu terlihat masih bermain dengan ponselnya, Arnesh mempersilahkan Om Surya untuk masuk, sedangkan ia memilih untuk tidak ikut. Ia pikir Samudra akan lebih leluasa bercerita kepada Om Surya jika tidak ada dirinya.

"Aku tinggal ke dapur ya, Om"

Setelah mendapat anggukan dari Surya, Arnesh pergi ke dapur untuk melanjutkan niatnya membuat kopi, sekalian membuatkan kopi juga untuk Om Surya.

***

Sudah sekitar satu jam Om Surya berada di kamar Samudra, entah apa yang dibicarakan oleh keduanya. Arnesh menunggu di ruang tamu sambil bermain ponsel. Kopi nya sudah tandas sejak tadi, sedangkan milik Om Surya masih utuh meski sudah dingin. Beberapa kali Arnesh menoleh ke arah kamar Samudra. Diam-diam ia menerka apa yang menjadi bahan obrolan Surya dan Samudra. Ada rasa penasaran dan sedikit tak nyaman disana yang Arnesh pun tidak dapat menjabarkan. Mungkinkah iri? Atau sedikit perasaan bahwa seharusnya ia yang ada di sana mendengarkan semua keluh kesah sang adik?

Fixing the BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang