3 ✍️

2.9K 281 32
                                    

Tahlilan hari ke tujuh sudah selesai tadi malam. Maka sesuai dengan rencana yang sudah di buat Surya dan Panji kemarin. Malam ini mereka akan membahas tentang permintaan terakhir Rania malam itu. Arnesh harus tinggal di rumah itu lagi.

Tentu saja, diskusi keluarga yang diikuti oleh Arnesh, Samudra, Panji, Surya dan Oma Rina itu tidak berjalan dengan baik. Belum selesai Surya menjelaskan semuanya, bahwa Rania lah yang mengutarakan permintaan ini, Arnesh langsung menolak keras.

"Aku nggak mau, aku sengaja sewa apartemen supaya tinggal sendiri." Arnesh menolak dengan tegas, laki-laki itu bahkan sampai berdiri dari duduknya.

"Ini permintaan Bunda kamu, Ar." Surya kembali menjelaskan.

"Aku akan melakukan apapun permintaan Bunda, asal bukan yang ini. Aku nggak bisa serumah sama anak itu. Kalian sendiri tahu aku pergi dari rumah karena nggak mau liat muka dia lagi." Arnesh tak dapat menahan gemuruh di dadanya. Emosinya benar-benar sudah pada titik puncak. Semua hal yang berkaitan dengan Samudra, akan sangat mudah menyulut api dalam hatinya.

"Jaga omongan kamu, Ar. Mudra itu adik kamu. Bunda kamu hanya mau hubungan kalian kembali baik. Sudah waktunya kamu menerima kenyataan. Semuanya udah takdir, Ar." Surya mencoba merendahkan nada bicaranya. Tidak mau membuat suasana menjadi lebih buruk.

"Udah waktunya kamu mulai lihat lagi ke dalam hati kamu. Om tahu kamu sadar bahwa Mudra nggak pernah salah apa-apa. Semua yang terjadi di masa lalu bukan kesalahan Samudra, Ar. Istri dan anak kamu meninggal memang sudah takdir yang di gariskan Tuhan. Nggak ada orang yang bisa menunda kematian." Lanjut Surya.

Mendengar Surya menyebut istri dan anaknya, sontak membuat Arnesh menajamkan matanya. Topik ini benar-benar tidak mau dia bahas. Menghadirkan istri dan anaknya dalam obrolan ini sama saja membuka kembali memori yang berusaha dia simpan rapat-rapat. Menyayat kembali perih yang memang tidak pernah benar-benar sembuh.

"Bukan salah Mudra Om bilang? Kalau bukan karena kecerobohan anak itu, pasti sekarang Ralin dan anakku masih hidup. Om Surya nggak pernah tahu apa yang aku rasain. Makanya Om bisa ngomong gitu. Om nggak pernah kehilangan dua orang yang Om sayang sekaligus. Coba bayangin kalau hal itu terjadi sama Tante Sarah dan Rafa. Apa Om Surya masih bisa ngomong kayak gini?"

Arnesh tidak mau kalah. Memang benar, Surya tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi dirinya. Tidak pernah ada yang tahu.

"Ar.."

Surya berusaha menyela. Menurutnya Arnesh sudah keterlaluan. Tapi belum sempat dia melanjutkan kalimatnya. Suara Oma terpaksa membuat Surya diam.

"Menurut saya Arnesh memang harus tinggal di sini. Tapi Mudra harus tinggal sendiri, keluar dari rumah ini. Supaya dia bisa belajar tanggung jawab sama dirinya sendiri. Nggak nyusahin orang lain. Nggak bikin orang lain sial karena berusaha melindungi dia terus."

Rina turut berdiri. Kedua netranya menyiratkan amarah yang begitu besar. Wanita itu tidak menggunakan nada tinggi dalam berbicara, tapi kata demi kata yang diucapkannya sudah cukup untuk menyiratkan emosi yang tersimpan. Dia masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Rania, anaknya itu harus meninggal dan menyalahkan Samudra karenanya.

"Maksud anda apa? Jangan ikut-ikutan nyalahin Samudra. Rania meninggal karena kecelakaan." Surya menimpali.

Sungguh, lama-lama Surya juga tidak bisa menahan emosi yang sudah dia tahan sejak tadi. Kenapa orang-orang ini sangat egois. Mementingkan perasaan diri sendiri tanpa memikirkan bahwa mungkin Samudra jauh lebih terluka dibanding mereka.

"Panji, kamu juga ngomong dong. Arnesh dan Mudra itu anak kamu. Kamu yang seharusnya menjelaskan semuanya. Buat mereka rukun lagi. Jangan diem terus kamu." Surya sungguh tidak habis pikir. Padahal tokoh utama dalam perdebatan ini adalah kedua anaknya. Tapi adiknya itu justru diam saja seperti orang bodoh.

Fixing the BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang