Awalnya Samudra tidak menyangka jika ternyata sekolah akan menjadi penghalangnya memperjuangkan Arnesh. Masalahnya, sejak sekolah sudah mulai aktif kembali, kesempatan mengobrol dengan sang kakak jadi lebih singkat. Jangankan mengobrol, ketemu saja hanya malam hari saat mereka sudah pulang atau pagi hari itupun mereka sedang terburu-buru dengan keperluan masing-masing. Bahkan ketika sudah bertemu pun, Samudra sering kali menjadi satu-satunya orang yang berbicara tanpa ada balasan dari Arnesh.
Berada di kelas XII benar-benar menyita waktu Samudra. Berbagai macam tambahan pelajaran wajib sudah mulai harus di ikuti oleh semua siswa setelah jam pulang sekolah untuk persiapan ujian akhir. Di tambah lagi, Samudra harus mengikuti olimpiade yang akan diselenggarakan sebentar lagi. Malam hari pun anak itu masih harus mengikuti bimbingan belajar. Jadi, sudah bisa dipastikan bahwa Samudra punya jadwal super padat. Apalagi ayahnya selalu mengontrol kegiatan anak itu tanpa henti. Olimpiade ini pun ayah dan bunda lah dulu yang merencanakan sejak dia masih duduk di kelas XI, tidak lama sebelum ujian semester. Padahal Samudra sudah menolak dengan alasan ingin fokus mempersiapkan ujian akhir. Tapi, Panji justru mengatakan olimpiade ini penting supaya Samudra nantinya bisa masuk di perguruan tinggi yang di inginkan sang ayah.
Tak ada kata santai dalam hari-hari Samudra. Bahkan saat di jam istirahat pun anak itu memanfaatkannya untuk mencicil PR yang diberikan oleh gurunya tadi karena nanti pulang sekolah dia harus mengikuti bimbingan olimpiade. Nanti malam, Samudra sudah bertekad akan menyempatkan waktu untuk mengobrol dengan Arnesh. Tidak ada rencana dia akan membicarakan apa, dia hanya ingin berinteraksi dengan sang kakak meskipun nanti akan diabaikan seperti sebelum-sebelumnya.
"Makan dulu sih, Dra? Nggak panas apa otak lo tuh?" Itu Dika. Sahabat karib Samudra sejak kelas X. Anak itu sudah jengkel dengan Samudra yang mengabaikan ajakannya sejak tadi.
"Jam istirahat tinggal 15 menit lagi nih. Habis ini ekonomi lagi, pokoknya kalo nanti gue pingsan semua salah lo."
Dika terus berceloteh untuk mengajak Samudra meninggalkan tempat duduk dan menemaninya makan di kantin. Kenapa dia tidak mengajak teman yang lain atau pergi sendiri? Jawabannya karena Samudra adalah satu-satu nya orang yang menganggapnya ada dan begitupun sebaliknya. Bisa dibilang mereka berdua cocok karena saling membutuhkan dan merasa dibutuhkan.
"Ya lo kalo laper makan sendiri sana. Gue mau nyelesaiin ini dulu. Pokoknya gue nggak mau nanti malem ada gangguan." Samudra menjawab tanpa meninggalkan fokusnya pada PR sosiologi di hadapan matanya.
"Lagian lo nanti mau ngapain sih? Pacar juga nggak punya, nggak mungkin juga mau kencan."
Samudra mendecih. Sudah jengah dengan Dika yang terus mengganggu konsentrasinya. "Beli aja makanan sana, terus di makan di sini. Lagian ke kantin aja pake harus di temenin. Nggak ada juga yang mau nyulik lo. Nggak guna."
Dika hanya mendesah kesal. Lalu akhirnya cowok itupun menyerah. Mimpi apa sih dia bisa punya sahabat yang kepalanya sekeras ini.
"Ya udah, lo mau nitip nggak? Itu perut udah penyakitan jangan suka di siksa."
Bukannya menjawab, Samudra justru tertawa ringan. Begitulah Dika, walaupun anak itu terkadang manja dan menyebalkan, Samudra tidak bisa menyangkal bahwa Dika adalah sosok yang sangat perhatian. Mendengar Dika mengkhawatirkan hal-hal kecil seperti ini saja sudah bisa membuat hatinya menghangat.
"Malah ketawa. Gila lo?"
Samudra segera menetralkan ekspresi wajahnya kembali sebelum menjawab. "Nggak. Nanti aja pas jam pulang gue ke kantin dulu." Jawabnya.
"Ya udah."
Setelah kepergian Dika, Samudra kembali fokus melanjutkan mengerjakan PR nya yang sempat terhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixing the Broken
Fiksi UmumKamu adalah Samudra. Yang tenangnya adalah tipuan. Menutupi segala gemuruh lara di dalam sana. Mereka bilang, menatapmu hanya akan membawa kembali perih yang memang tak pernah hilang. Hadirmu tak di inginkan. Namun, hilangmu menjadi luka yang tak...