23 ✍️

2.8K 260 38
                                    

"Ah! Dimana sih?" Arnesh berulang kali membongkar isi laci meja kerja, tas kerja dan hampir setiap sudut kamarnya. Sudah hampir lima belas menit lelaki itu kalang kabut mencari ponsel yang biasa ia gunakan untuk bekerja.

Awalnya ia berencana melanjutkan pekerjaannya yang tertunda di rumah. Sebenarnya sekarang hari Minggu. Tapi karena beberapa hari ini ia tidak bisa bekerja secara maksimal, jadilah banyak pekerjaan yang menumpuk dan harus ia selesaikan sebelum hari Senin datang. Ia tidak mau pekerjaan yang seharusnya selesai di minggu ini harus ia kerjakan di minggu selanjutnya karena itu pasti akan membuatnya sakit kepala.

Tapi masalahnya, ponsel yang ia gunakan untuk bekerja belum juga ditemukan. Semua pesan dan dokumen dari atasan dan kolega kerjanya ada disana. Seingatnya semalam ia masih menggunakan ponsel itu untuk bekerja. Tapi, Arnesh benar-benar tidak ingat dimana ia terakhir kali meletakkan benda itu.

Lelah mencari dikamar. Otak Arnesh mengajaknya mencoba mencari benda itu di ruang tengah. Ia bergerak cepat kesana dan langsung menuju tumpukkan buku di atas meja. Samudra yang awalnya fokus mengerjakan beberapa soal matematika di buat bingung dengan tingkah sang kakak.

Arnesh menutup buku Samudra yang terbuka dan memindahkan beberapa buku dari atas meja ke sofa tanpa ijin dan permisi. Ya benar, sih, ini rumah Arnesh. Tapi masalahnya semua buku yang terbuka itu sudah sesuai dengan halaman yang Samudra butuhkan. Samudra ingin protes. Tapi urung saat ia melihat wajah panik kakaknya itu.

"Lo nyari apaan sih, Kak?" Tanyanya.

Samudra mencebik kecil karena Arnesh tidak menjawabnya. Selalu saja begitu. Rasanya Samudra ingin meneriaki Arnesh dengan pengeras suara. Arnesh tetap fokus mencari benda yang masih menjadi misteri bagi Samudra itu. Bahkan Samudra melihat Arnesh beberapa kali memasukkan telapak tangannya ke sela-sela sofa.

Samudra membuang nafas jengah. "Kak Arnesh!" Bentak Samudra pada akhirnya.

"Apaan sih? Jangan teriak-teriak! Pusing nih gue."

Tuh, Kan. Salah lagi.

Dipanggil pelan, tidak ada jawaban. Tapi kalau nada bicara Samudra ia naikkan sedikit, langsung sewot. Berikan sabar yang banyak untuk Samudra ya Tuhan.

"Ya lagian lo gue tanya baik-baik nggak jawab. Nyari apa sih? Bilang sini. Kali aja gue bisa bantu nyari."

Meskipun kesal. Akhirnya Arnesh menjawab juga. "HP gue."

Pandangan Samudra meliar untuk sejenak. Lalu, seketika ia memukul dahinya sendiri saat melihat ponsel Arnesh ada di saku celananya, terlihat sedikit bagian atasnya.

"Haduuuh, makanya kalau nyari itu jangan sambil sewot. Tuh, di saku celana kanan." Samudra menunjuk ke arah yang ia maksud dengan percaya diri.

Tapi rupanya respon dari Arnesh tidak seperti yang ia inginkan. Lelaki itu justru berdecak dan raut wajahnya semakin memperjelas rasa kesal.

"Bukan yang ini. HP yang biasa gue pake kerja."

Samudra terkejut. "Lah, bukan itu? Gue baru tahu kalau lo pake dua HP."

"Dra, please. Nggak penting banget." Sungguh. Arnesh sedang terburu-buru mencari ponsel penting itu untuk membalas pesan dari atasannya yang seingatnya belum sempat ia balas sejak semalam dan juga untuk segera mengerjakan pekerjannya.

Samudra juga mulai mengerti keadaan kakaknya yang panik. "Ya udah – ya udah. Lo terakhir taruh dimana deh. Coba di inget-inget."

Rasanya Arnesh benar-benar ingin memukul kepala Samudra. Kenapa adiknya ini sangat pandai membuatnya marah disegala situasi. Contohnya ya seperti sekarang ini.

Fixing the BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang