15 ✍️

3.1K 275 45
                                    

Ada satu hal yang mengusik Arnesh malam ini. Melekat erat dalam pikiran. Merusak tenang yang lelaki itu idamkan setelah bekerja seharian. Seharusnya malam ini ia hanya akan bersantai di dalam kamar dengan segelas kopi seperti biasa. Jika saja bayangan Samudra pulang dalam keadaan babak belur tidak menghantuinya.

Arnesh beranjak menuju ranjang, berniat merebahkan diri disana. Untuk kesekian kalinya ia ambil ponsel dan mencari kontak Rafa, ia pandangi layar terang itu. Ada dorongan besar untuk menelfon Rafa dan menanyakan apa yang terjadi pada sang adik, namun seolah ada sesuatu yang begitu kuat menahannya. Gelisah tidak bisa lelaki itu hindari, menimbulkan nyeri yang tak bisa dijelaskan dalam dada.

"Ah, bodo. Nggak peduli." Dilemparnya ponsel itu ke samping kiri. Arnesh memejamkan mata, ingin tidur dan melupakan perasaan tidak jelas yang sejak tadi membuatnya terjaga. Tapi tak lama, lelaki itu mendesah kesal pada dirinya sendiri. Helaan nafasnya terbuang cepat. Ia ambil kembali ponselnya lalu dengan lihai mencari nama Rafa dan menekan tombol panggil. Sebaiknya Rafa segera menerima panggilannya sebelum ia berubah pikiran lagi.

Beberapa detik telah berlalu tapi sepupunya itu belum juga mengangkat telefon. Arnesh berdecih, untuk apa dia membuang waktu seperti ini. Mungkin ada yang salah dengan dirinya akhir-akhir ini, pikirnya. Ia tekan tombol merah untuk mengakhiri panggilan, lalu meletakkan ponselnya di atas nakas.

Baru saja Arnesh memejamkan mata, suara benda pecah dari arah luar memaksanya kembali terjaga.

"Apaan lagi, sih?" Umpatnya kesal.

Arnesh beranjak dari ranjang dan berjalan keluar menuju dapur. Ia menghembuskan nafas jengah saat melihat Samudra di sana, berjongkok sambil memunguti pecahan gelas yang tercecer dimana-mana.

"Lo ngapain sih?" Tanya Arnesh tegas. Kedua alisnya menukik, jelas sekali lelaki itu kesal dengan apa yang dilihatnya, kenapa Samudra tidak bisa berhenti membuat masalah.

Arnesh menatap Samudra tajam, dan cengiran tidak jelas dari anak itu membuat gejolak dalam dadanya semakin terasa.

"Lo kebangun ya, Kak? Sorry, gue nggak sengaja." Jawab Samudra.

"Tadi mau bikin teh, tapi tangan gue kebas, hehe..."

Sejenak Arnesh diam, berusaha menekan api dalam dada yang seolah mendesak keluar. Nafasnya terbuang kasar, kenapa menghadapi seorang Samudra selalu membuatnya berperang dengan hatinya sendiri. Rasa bencinya belum pernah hilang, namun ia kesal dengan sang adik yang selalu terlihat tanpa beban seperti itu. Dengan wajah memar dan begitu banyak lebam keunguan di tubuhnya tadi, dia masih bisa berlagak baik-baik saja, bahkan nada bicaranya pun telah kembali ceria. Seolah sosok Samuda yang beberapa waktu lalu berteriak dengan penuh luka yang kentara jelas adalah sosok yang berbeda.

"Ini lagi gue bersihin kok. Lo balik tidur sana." Lanjut Samudra.

Arnesh diam, lalu beberapa detik kemudian, alih-alih pergi seperti perintah Samudra, lelaki itu justru duduk di salah satu kursi makan. Tanpa sadar otaknya menyusun dan memilah pertanyaan yang sejak tadi mengisi penuh kepalanya.

"Lo di bully?" Tanyanya dengan suara datar.

Gerakan tangan Samudra terhenti. Anak itu diam, terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba dari sang kakak. Terlebih lagi, ia tidak tahu harus menjawab apa.

"Kalau di bully itu ngelawan, jangan goblok jadi orang." Bukan. Bukan itu yang ingin Arnesh katakan. Tanpa sadar lelaki itu mengumpat dalam hati.

Samudra memejam, siapa sangka kalimat yang baru saja Arnesh utarakan bisa melukainya begitu dalam. Seolah memperjelas begitu bodoh dan tidak berartinya ia di mata sang kakak. Tak lama, ia seperti mendapat tamparan tak kasat mata. Sudut bibirnya terangkat, senyum getir muncul disana. Lagipula, Samudra harus berharap apa? Arnesh akan menanyakan keadaannya dan menawarkan diri membantu mengobati lukanya? Cih. Konyol.

Fixing the BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang