👻 Siapa yang kangen sama cerita ini?
.
.
.
.
.Sebenarnya matahari sudah mulai tinggi, tapi sosoknya terhalang oleh gumpalan awan tebal yang warnanya semakin gelap. Diana melangkah keluar rumah dan mendapati Rangga sedang menyapu halaman. "Ga, mau hujan deh kayaknya."
Rangga mengangguk. "Besok aja kita jalan-jalannya, semoga aja sih nanti siang enggak hujan."
Diana duduk di teras dan menatap Rangga yang dengan luwesnya mengayunkan sapu lidi. Mereka tiba di rumah setelah Isya dan langsung beristirahat di kamar masing-masing. Rangga tidur di kamar saudara kembarnya, Erik dan Wahyu satu kamar, sedangkan Kiara, Nova, dan dirinya di satu kamar yang sama.
"Semalam tidurnya nyenyak gak, Di?" tanya Rangga.
"Nyenyak kok, cuma kadang ditendang sama Nova dan diminta usap-usap punggungnya Kak Kiara."
"Udah bangun belum kakak gue?" Rangga menyimpan sapu tadi dan mencuci tangannya. "Ayo masuk, sarapan."
"Eh? Udah masak?"
Rangga mengangguk dan masuk lebih dulu. "Udah, tadi kembaran gue yang masak."
Lima belas menit kemudian mereka berkumpul di ruang tengah, beranekaragam hidangan berada di tengah karpet. Nova sejak tadi merengek minta disuapi, badannya sedikit hangat, mungkin karena sepanjang perjalanan kemarin tak bisa diam.
"Disuapin sama siapa? Kakak?"
Nova menggeleng, dia berpindah duduk di pangkuan Diana dan bersandar manja. "Mau makan sama Diana."
"Ini, Di, maaf ya, jadi ngerepotin," ucap Rangga. Memberikan piring milik Nova yang hanya berisi nasi dan telur dadar.
Dengan telaten Diana menyuapi Nova, anak itu seperti tidak bertulang. Terlihat sangat lemas dan pucat. Selesai makan juga minta ditemani di kamar. Disaat teman-temannya jalan-jalan karena langit berubah cerah, Diana justru duduk di kamar.
"Diana."
Buru-buru gadis itu meletakkan toples di pangkuannya dan kembali ke kamar, Nova sudah bangun dan terlihat mencarinya. "Ada apa? Ngantuknya udah selesai?"
"Kita jalan-jalan yuk." Anak itu turun dari kasur dan mengambil sisir.
"Kamu masih sakit." Nova menggeleng, dia kemudian pergi ke kamar mandi dan kembali ke kamar dengan wajah segar. "Udah sembuh kok. Ayo jalan-jalan."
"Kemana?" tanya Diana. Dia tidak tahu tempat dan jalan. Bisa-bisa mereka malah tersesat.
"Ya jalan aja, nanti juga ketemu tempat bagus." Tiba-tiba Nova memegangi kepalanya, Diana menuntun kembali anak itu ke kamar. "Kamu istirahat aja, Va. Aku di rumah aja enggak apa-apa kok."
Diana meninggalkan Nova seorang diri di kamar, anak itu sedang melakukan panggilan video dengan Tante Ayesha, dan beberapa kali Diana mendengar anak itu menyebut namanya. Diana berusaha untuk tidak penasaran.
Gadis itu memilih duduk-duduk di sebuah ayunan yang ada di bawah pohon. Tidak tahu itu pohon apa karena tidak ada buahnya. Tak lama kemudian Rangga datang membawa sebuah kantung plastik. "Di, gue beliin jajan."
"Yang lainnya pada kemana?"
"Itu bumil satu minta ditemani ke tempat wisata, karena lo di sini cuma sama Nova, akhirnya gue balik. Kasihan lo sendirian di rumah orang." Rangga mengeluarkan salah satu isi dari kantung plastik tadi, diberikannya pada Diana.
"Apa ini?"
"Roti bakar kukus. Kata Gilang, rasanya enak. Cobain deh. Gue beliin rasa cokelat semua. Soalnya bingung. Ini juga ada boba, lo suka rasa taro, kan?"
Diana mengangguk dan memakan roti bakar tadi. Rangga duduk di atas tumpukan daun di bawahnya, menikmati semilir angin siang yang sedikit panas. "Di, menurut lo, orang tua gue bisa balikan gak? Kan sekarang Mama udah gak punya suami."
"Lo mau mereka rujuk, Ga?"
Rangga mengangguk. "Papa enggak mau nikah lagi karena dia masih sayang sama Mama. Gue berharap banget mereka bisa bareng-bareng lagi kayak dulu. Kita jadi keluarga yang utuh dan lengkap."
"Menurut gue ... kayaknya mustahil, Ga."
"Mustahil gimana?" tanya Rangga tak suka.
"Orang yang memutuskan untuk pisah, menyerah dalam pernikahan itu biasanya karena memang benar-benar udah enggak bisa lanjutin. Udah enggak ada harapan, karena kapal mereka udah terlanjur hancur diterpa badai, lalu karam."
"Tapi apa mereka enggak egois, Di? Kenapa mereka enggak bertahan atau kembali demi anak-anak?"
"Sulit, Ga. Bertahan meskipun sakit, demi anak. Apa ada jaminan, suatu saat nanti penyebab kesakitan itu enggak bakalan terbongkar? Suatu saat nanti pasti kebongkar, Ga."
"Gue iri sama kalian, Di, punya keluarga utuh. Apalagi lo, sama sekali enggak tahu kesakitan apa yang selama ini gue rasain!" ketus Rangga.
"Tapi itu namanya pemaksaan, Ga. Lo maksa mereka supaya bareng-bareng lagi. Palingan nanti bahagia yang lo rasain cuma sesaat."
"Gue bakalan bahagia selamanya, Di!" sahut Rangga tidak setuju.
Diana sedikit memundurkan kepalanya. "Sesaat, Ga. Karena terpaksa."
"Terpaksa lama-lama jadi biasa."
"Enggak gitu juga, Rangga. Ini hubungan pernikahan, bukan suatu hal yang bisa dipermainkan."
"Gue enggak minta mereka memainkan pernikahan."
Diana menghela napasnya, menyedot es boba sekuat tenaga hingga tersisa bobanya saja. Perutnya seketika kembung. Tapi menghadapi Rangga harus dalam keadaan perut penuh, karena pasti akan alot dan lama. "Secara enggak langsung, lo minta itu."
Rangga berdecak. "Lo enggak tahu rasanya jadi gue, Di. Keluarga gue hancur. Mama pergi bawa adik gue yang masih bayi, kakak gue ngekos, kembaran gue tinggal di kota lain sama orang lain, gue di rumah sama Papa. Meskipun gue tinggal sama Papa, tapi gue enggak ada yang urus, Di. Papa terpuruk, kakek dan nenek dari pihak Mama lepas tangan, sedangkan dari pihak Papa ada, tapi enggak bisa ngurusin gue secara maksimal."
"Keluarga hancur dan gue masih dituntut ini-itu, apa gue ini robot remote yang bisa mereka kendalikan sesuka hati? Gue sebenernya pengin masuk STM, Di, tapi terpaksa masuk sekolah ini karena keadaan. Gue capek." Rangga mengusap kasar air matanya.
"Lo enggak tahu gimana rasanya jadi gue dan lo cuma bisa berkomentar sesuk hati," lanjut Rangga.
"Bukan gitu, gue cuma mau ngingetin lo, Ga," ucap Diana pelan.
"Itu namanya bukan ngingetin, Di! Lo cuma sok tahu, karena lo enggak tahu keadaan yang sebenarnya dan lo enggak pernah ada di posisi gue!"
Diana menatap Rangga yang berjalan menjauh, lalu menghilang dari pandangannya. Gadis itu menghela napasnya. Mungkin ada hal lain yang sedang mengganggu pikiran pemuda itu, sampai bisa emosi seperti tadi. Meskipun begitu, Diana tetap takut karena dibentak. Takut tiba-tiba dipukul.
Ah, terlalu banyak membaca cerita fiksi di Wattpad. Pikiran Diana mulai yang tidak-tidak. Membayangkan Rangga akan memukulnya atau melakukan yang lain.
Diana mengira, setelah tenang Rangga akan kembali seperti biasanya. Tapi ternyata tidak. Sampai mereka kembali ke Depok, Rangga masih terlihat marah. Selama di kereta, Wahyu dan Erik hanya bisa saling berbisik. Menebak-nebak apa yang terjadi pada Rangga.
.
.
.
.
.Rujuk gak nih orang tuanya Rangga? 🥺 Siapa yang berharap banget Rendi - Ayesha bareng-bareng lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Kaktus • Tamat
Teen Fiction#3 "Seriusan lo nge-crushin cowok friendly kayak Rangga?!" "Itu sama aja menyakiti diri sendiri, Diana." "Yah ... gimana dong? Gue enggak sengaja suka sama dia, sumpah. Enggak bisa kalau mau dicancel." - Diana Pusparini. Diana menyukai salah seorang...