Berjumpa kembali 🧡
.
.
.
.
."Nomor sembilan kayak gini bukan, Ga?" Diana menggeser buku tulisnya ke hadapan Rangga dan menunjuk hasil pekerjaannya.
"Bukan, tapi gini," tunjuk Rangga pada coretan di bukunya.
"Kok bisa?"
Rangga menatap bergantian antara bukunya dengan buku Diana. "Lo salah soal, Di. Kurang fokus. Coba ulangi lagi."
"Ini?"
"Bukan, Diana." Rangga menghela napasnya. Sudah satu jam Diana belajar hal yang sama, tapi tidak pernah belajar dari kesalahan. "Pelan-pelan, coba diulangi lagi."
Wahyu dan Erik sejak tadi sudah sibuk bermain game, mulut mereka terus mengunyah camilan yang tuan rumah sediakan. Tidak peduli dengan wajah frustasi Diana yang masih belum paham meskipun sudah diajari dengan perlahan.
"Udah, pokoknya nyerah." Diana menggeser buku tulisnya ke hadapan Rangga, tangannya mencomot kue kering yang entah apa namanya.
"Akhirnya, Ya Allah. Diana paham!" seru Rangga. Dia sampai sujud syukur. Saking lelahnya mengajari Diana tentang satu hal. "Nanti coba gue cariin soal lain yang sejenis, terus lo kerjain."
Diana mengangguk dengan mulut penuh. Kue kering tadi rasanya enak. "Udah sore, mendung juga."
"Nginap di sini aja, Di," ucap Wahyu. Mengubah posisi duduknya menjadi tengkurap di atas karpet.
"Nginap? Lain kali aja, soalnya—"
"Abang, kamu di belakang ya? Kok pintu depan enggak dikunci, gerbang juga enggak kamu tutup!" Suara perempuan itu menggema ke seluruh rumah, Rangga membereskan buku-bukunya dan berdiri.
"Eh, ada yang lagi belajar kelompok ternyata." Kak Kiara muncul dengan membawa seekor kucing di gendongan. "Udah selesai?"
"Udah. Kakak kapan pulangnya?"
"Tadi, sekitar jam dua. Papa mana?"
"Ke toko sama Nova, palingan sebentar lagi pulang. Oh iya, aku mau masak seblak, Kakak mau sekalian?" tawar Rangga.
"Boleh-boleh. Tapi Kakak pulang dulu, kalau udah matang, panggil aja."
Rangga mengangguk, kemudian mengajak teman-temannya menuju dapur. Membuat dapur berantakan adalah misi mereka kali ini. Diana dan Erik memotong-motong isian seblak, Wahyu menghaluskan bumbu dan Rangga mencari keberadaan kerupuk mentah yang sepulang sekolah tadi dia beli.
"Kok enggak ada ya?" gumam Rangga, sedikit menggeser Diana yang menghalangi pintu lemari.
"Ih, gue bukan mobil, main dorong-dorong aja," protes Diana. Dia berpindah duduk menjadi di sebelah Erik.
"Kerupuknya tadi dimana ya, Rik?"
Erik menunjuk jendela dengan dagunya. "Siapa tahu masih di gantungan motor."
"Eh, iya, lupa! Belum dibawa masuk." Segera Rangga berlari keluar, meninggalkan teman-temannya yang geleng-geleng kepala.
"Di," panggil Wahyu sembari menendang kaki Diana yang duduk di bawah kursinya. "Lo mau lanjut dimana? Kita bertiga rencananya mau ikut Simak UI, ikut gak?"
Diana menggeleng. "Gue udah ada rencana lain."
"Mau nikah ya?" tebak Erik. Memindahkan sawi hijau yang sudah selesai dia potong, lalu mencucinya. "Kalau lo mau nikah, jangan lupa undangannya ya, Di."
"Siapa yang mau nikah?" Rangga muncul dan langsung memindahkan kerupuk yang akhirnya berhasil dia temukan. "Lo, Rik? Atau Wahyu?"
"Tuh, Didi," tunjuk Erik pada Diana. Buru-buru gadis itu menggeleng. "Enak aja, jangan percaya, Ga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Kaktus • Tamat
Fiksi Remaja#3 "Seriusan lo nge-crushin cowok friendly kayak Rangga?!" "Itu sama aja menyakiti diri sendiri, Diana." "Yah ... gimana dong? Gue enggak sengaja suka sama dia, sumpah. Enggak bisa kalau mau dicancel." - Diana Pusparini. Diana menyukai salah seorang...