☺️ Jangan lupa tekan bintang, meskipun kalian baca ceritanya secara offline.
.
.
.
.
.Malam semakin larut, Diana masih betah duduk di meja belajarnya. Pikirannya melayang, teringat ucapan Rangga saat mereka berboncengan sepeda motor menuju sekolah.
"Gue tahu, Di, lo sering insecure sama teman-teman lo."
Diana mengerutkan keningnya. "Insecure gimana, Ga? Gue enggak insecure deh perasaan."
"Bohong. Gue sering lihat lo minder kalau kalian berempat lagi bareng-bareng. Mila anaknya gampang bergaul, satu angkatan kenal sama dia. Anjani, dia cantik, paling cantik di kelas, sering di-notice sama cowok-cowok. Fenty, dia paling pintar di kelasnya, banyak guru yang suka sama dia, bahkan karyawan tata usaha kenal banget sama dia. Sedangkan lo? Gue yakin kalau lo merasa kerdil di tengah-tengah mereka."
Diana bungkam.
"Kalau kalian jalan ke kantin, pasti lo paling belakang. Jalannya pelan, kayak siput. Kalau teman-teman lo bercanda sama anak kelas lain, lo cuma diam jadi pendengar. Lo tahu? Baru kemarin gue lihat lo ketawa, karena lo sependiam itu kalau sama orang lain. Lo mungkin sadar, kalau gue cuek ke lo."
Gadis itu mendongak, ia mengangguk pelan.
"Gue sengaja cuek ke lo. Karena gue pengin lihat, seberapa antusias lo, kalau diajak interaksi sama orang lain di luar circle lo. Intinya gini, selama ini gue selalu perhatiin lo. Jadi, apa alasan lo jadi pendiam di sekolah?"
Diana tersadar dari lamunannya saat ponselnya berdering panjang, ada panggilan suara dari Rangga. Gadis itu menyentuh dadanya yang berdebar tak karuan. Rasa itu masih ada, tapi harus segera ia tepis. "Halo ...."
"Gue kabur lagi dari rumah, gue ke rumah lo ya, Di. Soalnya—"
"Rangga!" sentak Diana, bangun dari duduknya dan melangkah menuju jendela. "Ada apa lagi sih? Gue enggak mau kalau akhirnya Tante Ayesha samperin gue lagi."
"Gue gak tahu lagi harus kemana, Di."
"Lo bisa ke tempat teman yang lain. Ke rumah Wahyu, bisa ke rumah Erik atau terserah kemana. Yang pasti jangan ke rumah gue karena gue enggak mau lagi disalahin sama orang tua lo. Gue udah dicap buruk sama Tante Ayesha."
"Gue masih sakit, Di. Lo tega?"
Diana mendengkus. "Kalau lo ngerasa masih sakit, ya lo pulang ke rumah. Bukan malah kabur-kaburan gini setelah berantem sama orang tua. Maaf ya, Ga, gue enggak suka sama cowok yang sering bentak ibunya dan teriak ke ibunya. Sejahat apapun seorang ibu, dia tetap ibu lo. Lo harus tetap nurut, selama itu enggak melanggar perintah Allah. Itu juga demi kebaikan lo."
"Lo enggak usah sok-sokan ceramahin gue, karena lo enggak tahu apapun tentang hidup gue, Diana!"
Langsung saja Diana memutuskan panggilan telepon, telinganya sakit mendengar Rangga berteriak. Dia tidak peduli. "Bodo amat lo mau tidur dimana, kolong jembatan, kuburan atau malah teras rumah. Gue enggak peduli."
Gadis itu melangkah keluar kamar, sudah pukul sepuluh, orang tuanya sudah tidur. Setelah gosok gigi dan mencuci muka, Diana kembali ke kamar. Kekehan pelan keluar dari bibirnya saat memeriksa ponsel, nomornya diblokir oleh Rangga. Lagi-lagi, Diana tidak peduli. Terlanjur ilfil dengan Rangga.
Keesokan paginya, Diana ikut Umi ke pasar. Membeli beberapa bahan untuk membuat pesanan kue tradisional. Gadis itu duduk manis di sebuah bangku yang ada di tempat parkir. Menunggu Umi yang tadi lupa tidak membeli pisang.
"Diana."
Gadis itu tersentak saat seorang menyebut namanya, kedua matanya membulat dan langsung berdiri saat Tante Ayesha berjalan mendekat. "Dimana Rangga?"
"Aku enggak tahu, Tante."
Wanita itu menatap Diana lekat dan yang ditatap semakin merasa takut. "Nomorku diblokir," ucap Diana pelan. Takut diterkam oleh perempuan cantik itu.
"Dia bilang apa aja ke kamu?"
"Dia tadinya mau nginap di rumah, tapi aku larang. Setelah itu aku nasihati dia supaya pulang. Rangga marah-marah dan malah blokir nomorku."
Tante Ayesha menghela napasnya. "Besok Senin kalau dia berangkat sekolah, tolong hubungi Tante, ya."
"Iya, Tante."
Wanita itu kemudian melangkah masuk ke pasar, meninggalkan Diana yang menghela napas lega. Tiba-tiba gadis itu kepikiran, dimana Rangga semalam?
"Umi, nanti aku izin ke rumah teman ya. Dia minta tolong diantar COD barang. Biasa, COD basreng. Boleh, kan?" Dalam hatinya Diana ingin menangis, terpaksa dia berbohong pada Umi. Dia tidak ingin besok Senin kembali didatangi dan dikira menyembunyikan anak orang.
.
.
.
.
."Ya udah, makasih ya, Erik." Diana melangkah kembali ke sepeda motornya. Hari sudah hampir sore dan semua teman kelas dia datangi. Gadis itu menatap Wahyu yang terlihat lelah. "Cari kemana lagi?"
"Gue nyerah, Di. Gue capek."
Diana menunduk, sebenarnya dia juga lelah. Rangga pasti akan marah-marah lagi. "Oke."
"Di, gue yakin. Besok pasti Rangga berangkat sekolah. Sebentar lagi kita ujian." Wahyu memakai kembali helmnya. "Sekarang mending lo pulang, gue juga udah minta bantuan beberapa orang di kelas buat cari Rangga. Kalau ada kabar terbaru, pasti dishare di grup."
"Oke, makasih, Wahyu."
"Enggak usah bilang makasih, Rangga gue teman gue. Gue enggak nyangka juga sih, dia bakalan kabur-kaburan kayak gini. Secara, dia sejak kecil anaknya penurut banget. Disuruh latihan futsal, les, latihan karate, main sama gue cuma setengah jam sehari. Pokoknya gitu lah, melebihi anak raja."
"Nanti malam kalau lo sempat, gue pengin dengar cerita tentang Rangga. Biar kalau ada apa-apa, gue enggak salah omong lagi," pinta Diana.
Wahyu mengangguk. "Ayo, gue antar balik."
Dari wajahnya, dua remaja itu memang biasa saja. Tapi tidak dengan hati dan pikirannya. Benar-benar risau. Apalagi hari Senin hingga Jumat Rangga tidak masuk. Alasan yang masih dipakai oleh keluarganya adalah sakit. Tapi sebenarnya, entah dimana anak itu berada.
Sepulang sekolah, Wahyu mengajak Erik dan Diana menuju sebuah tempat. Katanya, Om Rendi mengajak mereka bertemu.
"Maaf, ya. Pasti kalian capek," ucap Om Rendi. Menyodorkan buku menu pada tiga anak remaja di hadapannya. "Rangga udah ketemu."
Langsung saja ketiganya berubah sumringah. "Dimana, Om?"
"Sekarang dia di rumah. Selama ini dia kabur ke Purwokerto, nyamperin adiknya di sana. Sebenarnya Om udah mikir sampai ke sana, tapi karena di sini juga banyak ributnya sama Mama Rangga, belum sempat nyusul. Lagipula Rangga harus dikasih waktu buat mikir, masih kayak anak kecil dia tuh. Gampang marah, gampang tersinggung."
"Alhamdulillah kalau Rangga udah di rumah, Om," ucap Erik.
Om Rendi mengangguk. "Tolong Rangga di-support ya. Ayah tirinya meninggal kemarin sore. Rangga sekarang jadi agak gimana gitu. Soalnya dia enggak pernah suka sama hal-hal yang berkaitan sama ayah sambungnya."
Tiga anak itu saling berpandangan. Melihat itu, Om Rendi terkekeh pelan. "Rangga enggak pernah cerita ya kalau orang tuanya udah pisah? Pasti selama ini dia cerita hal-hal bahagia dalam hidupnya."
"Maaf ya, Om," ucap Wahyu. Dia bahkan tidak tahu akan hal itu. Padahal berteman dengan Rangga sejak SD. Payah. Benar-benar payah.
"Kalian pesan makan dulu, terus kalian izin ke orang tua masing-masing. Boleh atau enggak, nginap di rumahnya Rangga."
"Pasti boleh," ucap Wahyu dan Erik. Berbeda dengan Diana yang hanya diam. "Aku udah pasti enggak boleh, Om. Aku di sini perempuan sendiri."
"Enggak apa-apa, Om paham kok. Pesan makan dulu, atau mau dibungkus dan dimakan di rumah Om? Boleh, Rangga juga belum makan sejak pagi. Diana, kita bisa bicara sebentar?"
.
.
.
.
.Makasihhh banyakkkk 🤩
Kira-kira, Om Rendi mau bicara apa ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Kaktus • Tamat
Roman pour Adolescents#3 "Seriusan lo nge-crushin cowok friendly kayak Rangga?!" "Itu sama aja menyakiti diri sendiri, Diana." "Yah ... gimana dong? Gue enggak sengaja suka sama dia, sumpah. Enggak bisa kalau mau dicancel." - Diana Pusparini. Diana menyukai salah seorang...