"Dia temannya Abah sejak jaman kuliah."

669 47 2
                                    

Rasanya pengin cepat-cepat tamatin cerita ini, dilanjut publikasi cerita tentang Gilang. Hehe
.
.
.
.
.

Diana yang memang tidak membawa sepeda motor diantar pulang oleh Om Rendi, sedangkan Wahyu dan Erik langsung pergi ke rumah pria itu. Diana sejak tadi hanya diam, menikmati alunan lagu dari radio sembari menggigit burger.

"Diana, Om minta maaf kalau ngerepotin kamu. Om juga sebenarnya kaget, sewaktu Rangga ajak kamu ke ulang tahun Nova waktu itu. Dia enggak berani bawa teman cewek ke rumah. Sebelumnya dia juga cerita, kalau punya teman yang bawa bekal nasi kuning. Terus dia minta, katanya seenak buatan Mamanya."

"Iya, Om, aku enggak ngerasa repot kok. Kan Rangga teman aku," jawab Diana.

"Makasih juga, udah mau jadi teman Rangga. Dia biasanya kalau kabur, ke tempat Wahyu. Tapi kali ini malah maunya ke tempat kamu. Mungkin dia nyaman sama kamu. Kalian pacaran?"

Diana buru-buru menggeleng dan menyimpan burgernya. "Enggak, Om. Beneran."

Om Rendi terkekeh. "Kelihatan kok dari mata kamu, kalau suka sama Rangga."

"Enggak suka kok, Om."

"Ya udah, berarti Rangga yang suka sama kamu."

Diana seketika diam, melirik Om Rendi yang sepertinya akan kembali bersuara. "Dia itu meskipun kelihatannya ganteng, keren, pintar, murah senyum, tapi sebenarnya dia banyak lukanya. Om minta sama kamu, tolong, tetap jadi temannya Rangga. Untuk urusan Mamanya, kamu enggak usah khawatir. Itu biar jadi urusannya Om."

"Tapi ...."

"Kalian sebentar lagi sibuk ujian. Belajar bareng-bareng sama Rangga, ya? Biar Om yang minta izin langsung ke orang tua kamu. Akhir-akhir ini kan Rangga jarang masuk."

"Rangga cuek ke aku, Om."

Om Rendi mengerutkan keningnya. "Masa? Perasaan dulu pas seumuran kalian, Om enggak pernah gengsi buat nunjukin kalau naksir sama Mamanya Rangga."

"Rangga enggak mungkin suka sama aku, Om," ucap Diana. Melepas sabuk pengaman saat mendapati bahwa mereka sudah tiba di tujuan.

"Tolong panggil orang tua kamu, Om mau ketemu."

Diana mengangguk dan melakukan apa yang diminta Om Rendi. Awalnya Umi menatapnya tajam, mengira jika putrinya memiliki hubungan asrama dengan om-om. Seperti cerita Wattpad yang biasanya dibaca Diana. Tapi buru-buru gadis itu meluruskan. Abah yang sudah pulang tak bisa berhenti tertawa.

"Yang sering baca novel itu kamu, tapi yang sering overthinking dan kebanyakan halu malah Umi," ucap Abah. Menyentil kening Diana dan berjalan menemui tamunya.

Umi menarik Diana ke kamar dan mengulang pertanyaannya. "Umi, dia itu udah tua. Masa iya aku sama Om Rendi pacaran?!"

"Kali aja kamu kayak Michel. Pepet om-om."

"Om Rendi itu udah tua, Umi. Rangga aja anak kedua, jarak dia sama kakaknya delapan tahun atau berapa gitu. Muka Om Rendi aja yang awet muda, palingan dia lebih tua daripada Abah dan Umi. Ya kali, Mi, nikah sama kakek-kakek." Bibir Diana mengerucut seperti bebek. Pasti Umi membaca novel di aplikasi yang bukan aplikasi Oren. Halunya ketinggian.

"Hah? Semuda itu udah punya cucu?" tanya Umi kaget. Sedikit melongokkan kepalanya ke ruang tamu.

"Iya. Kakaknya Rangga lagi hamil."

"Alhamdulillah, berarti menantu Umi bukan om-om," gumam Umi. Dia mengusap-usap kepala Diana dan meninggalkan anak gadisnya di kamar seorang diri.

Sepeninggal Umi, Diana langsung menatap cermin. "Memangnya muka aku kayak mbak-mbak yang gatel itu ya? Mending sama anaknya, masih muda, ganteng. Umi ada-ada aja, kebanyakan main Facebook nih pasti."

Selesai berganti pakaian, Diana keluar kamar dan langsung menuju dapur. Tiba-tiba dia ingin makan lagi, padahal tadi sudah makan burger.

"Diana, kenapa kamu enggak bilang, kalau Papanya Rangga itu yang punya Kia Mart," ucap Abah. Merebut pisang goreng di tangan Diana. Padahal itu tinggal satu-satunya.

"Ya kan aku enggak kepikiran cerita tentang itu, Abah. Memangnya Abah kenal?"

"Ya Allah, Diana, Abah kenal banget sama dia. Dia itu temannya Abah sejak jaman kuliah. Kamu sama Umi kan dulu tinggal di Solo, makanya enggak tahu."

"Hah?" Diana sama sekali tidak menyangka bahwa Abah dan Om Rendi adalah teman. Sejak kecil, Diana memang sudah ditinggal Abah merantau. Abah bekerja dan kuliah di Depok, entah bekerja apa saat kuliah, yang Diana tahu Abahnya sudah menjadi PNS. Lalu dia dan Umi menyusul saat Diana masuk SMA.

"Makanya pas lihat Rangga, Abah merasa kalau enggak asing sama dia. Pas Mamanya Rangga datang waktu itu, Abah enggak lihat wajahnya, cuma dengar suaranya."

"Oalah ...."

"Tanya aja sama Rangga atau kakaknya, mungkin mereka lupa-lupa ingat."

"Tanya apa, Abah?" tanya Diana. Abahnya ini sering menguji kesabarannya, bicara setengah-setengah. Abah kemudian tertawa dan mencomot bolu di tangan istrinya. "Tanya sama mereka, ingat gak sama Om Putra yang dulu sering momong mereka pas masih kecil. Kasir Kia Mart yang sering menistakan anak pemilik toko."

.
.
.
.
.

"Abang, bestie Vava akhirnya datang!"

Diana memejamkan matanya, kaget dengan suara Nova dari balkon lantai dua. Gadis itu melangkah menuju pintu yang tiba-tiba terbuka dari dalam. "Masuk, Di."

"Lo udah dari tadi, Rik?" tanya Diana pada Erik yang tadi membuka pintu, kemudian pemuda itu berjalan santai entah kemana.

"Gue kan nginap di sini sejak kapan hari, Wahyu juga."

"Diana, Vava kangen. Kamu enggak pernah main!" Diana tersenyum saat Nova memeluknya. "Maaf, ya, Nova. Kan aku ujian."

"Tapi kok mereka malah main di sini?" tunjuk Nova pada Wahyu yang sedang berjongkok di dekat lemari pajangan.

"Nova, Diana datang ke sini buat belajar bareng sama Abang. Mainnya nanti!" teriak Rangga yang entah ada dimana.

"Kok gitu? Pokoknya Vava mau nonton Moana sama Diana!"

"Belajar dulu!"

"Nonton film, Abang!"

Om Rendi muncul dari sebuah ruangan di dekat tangga, memberi kode pada Nova dan gadis kecil itu melangkah mengikutinya dengan cemberut. Wahyu tertawa dan mendekati Diana. "Gue sama Erik udah kuat kok, dengar suara mereka beberapa hari ini."

"Telinga kalian baik-baik aja?" tanya Diana iba. Kasihan dua temannya itu.

"Alhamdulillah, Erik semalam ke THT."

"Beneran, Rik?"

Erik berdecak. "Gue ke THT buat bersihin telinga rutin, bukan karena suara tarzan rumah ini. Ayo belajar, di teras belakang aja. Adem."

"Ga, kita duluan ya. Di teras belakang!" teriak Wahyu. Diana sampai mengelus dada saking kagetnya. Sepertinya jika terlalu sering datang ke rumah ini, dia akan ikut-ikutan memiliki bakat tarzan.

Eh, memangnya kedepannya dia akan sering datang ke rumah ini?

.
.
.
.
.

Semoga aja kedepannya sering datang, Di.

Gadis Kaktus • TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang