"Ternyata aku masih lebih beruntung daripada Rusa."

692 48 2
                                    

Ketemu lagi. Gimana hari Seninnya?
Hari Senin ku, mumet 😵

.
.
.
.
.


Diana cemas karena hari Kamis kemarin Rangga tidak masuk, tidak ada yang tahu penyebabnya apa. Saat dihubungi, nomornya tidak aktif. Hari ini sepulang sekolah, Diana bertekad untuk datang ke kos pemuda itu. Berharap Rangga ada di sana.

Masih pukul sepuluh pagi, kelas dibubarkan setelah kegiatan kerja bakti. Diana memarkirkan sepeda motornya di halaman rumah dan berjalan menuju tempat kos. Usai bertanya letak kamar Rangga, gadis itu melangkah menuju lantai dua. Kamar paling ujung, yang dua hari ini katanya terlihat sepi.

"Assalamualaikum, Rangga."

"Rangga, ini gue, Diana."

Diana menatap sepasang sepatu di depan pintu, itu adalah sepatu Rangga. Begitu juga sandal yang ada di sebelahnya. Kemungkinan besar Rangga ada di dalam. "Rangga."

Mendengar suara gemerincing kunci, Diana menunduk. Ada sesuatu yang berkilau di celah pintu. Segera dia mengambilnya. Ternyata sebuah kunci. Langsung saja dia mencobanya, gadis itu tersenyum lebar saat berhasil membuka pintu. "Rangga ...."

Begitu pintu dibuka, Diana langsung melihat sebuah meja belajar dan lemari. "Lo kenapa, Ga?"

Diana melangkah lebar mendekati Rangga yang meringkuk di kasur, dia mendudukkan dirinya di dekat Rangga dan menyentuh keningnya. "Lo sakit, kenapa enggak bilang?!"

Sama sekali tidak ada respon dari Rangga, wajahnya begitu pucat dan badannya panas. "Kita ke dokter ya?"

"Kamu tunggu sebentar, aku mau pulang dulu, kemungkinan Abah udah pulang dari ngajar. Kita ke dokter setelah ini, ya?" Segera Diana berlari pulang, tepat saat ayahnya turun dari sepeda motor. Dua orang itu akhirnya menuju tempat Rangga.

Dibantu tetangga kos, Rangga dibawa ke puskesmas terdekat yang hanya berjarak dua ratus meter. Diana mendekati Abah yang sedang mengurus administrasi. "Em ... Abah."

"Ada apa?" Abah menyimpan KTP milik Rangga di dompetnya, kemudian berbalik.

"Aku mau ke rumah Rangga dulu ya, mau kasih tahu kalau anaknya sakit. Aku enggak punya nomornya, tadi pas cari-cari HP punyanya Rangga enggak ketemu."

Abah menggeleng. "Biar Abah aja yang ke sana, kamu di sini, temani Rangga. Tapi Abah ke sananya setelah Jumatan, bareng sama Umi."

"Enggak apa-apa, sekarang Abah kalau mau pulang boleh kok. Sebentar lagi azan Dhuhur."

Sepeninggal Abah, Diana masuk ke ruang rawat Rangga. Tipes dan kekurangan cairan. Gadis itu mendekati Rangga yang tidur pulas, duduk di dekatnya. "Lo kenapa enggak bilang kalau sakitnya makin parah? Pintu kamar dikunci, tetangga kamar lo mau ngecek juga enggak bisa."

"Untung tadi lo masih sanggup buat lempar kunci, kalau enggak, pasti gue tadi langsung pulang. Ngiranya lo enggak di kos."

Rangga membuka matanya, terlihat merah dan berair. "Pengin minum teh, Di. Haus."

"Gue beli dulu ya, di depan kok. Tunggu sebentar ya." Lima menit kemudian Diana kembali dengan segelas teh hangat, sudah ada makan siang Rangga di atas lemari kecil. "Lo bisa duduk gak? Nanti keselek kalau sambil tiduran."

"Enggak. Kepalanya sakit, muter-muter, pengin muntah."

Diana membungkuk, akhirnya dia menaikkan ranjang tadi. Setelah dirasa posisinya nyaman untuk minum, dia menyodorkan sesendok teh. "Minum."

"Enggak lo tiup, kan?"

"Enggak, tadi dijilat dulu. Buruan ih, mumpung masih hangat."

Setelah minum beberapa sendok, Rangga kembali memejamkan matanya. Mengeluh kepalanya sakit dan pandangannya berputar.

Gadis Kaktus • TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang