Bagian 1

12.2K 356 6
                                    

Vena sudah membanting semua buku-bukunya di hadapan seorang guru besar. Laki-laki gagah yang sudah matang usianya itu berdiri tegap di balik balutan stelan jasnya, memandangi Vena dengan picingan mata yang seakan mengatakan kalau Vena adalah orang yang berpikiran dangkal. "Teruskan!", katanya. "Ayo! Teruskan! Biar dunia tahu kelakuanmu!!!"

Vena mengangkat buku panduan di tangannya, yang baru saja dihadiahkan kepadanya di hari ulang tahunnya yang merana, dengan picingan mata murid-murid lain yang menudingnya sebagai pemberontak. "Bagaimana mungkin anda menghakimi saya sejauh ini tanpa berbicara secara pribadi, kenapa naskah saya, anda lempar ke tempat sampah di depan orang banyak?!", jerit Vena. Ia sudah tidak bisa menahan dirinya lagi, setelah sebulan penuh ia jadi target pergunjingan, cemoohan dan sindiran.

Laki-laki gagah itu tersenyum, menahan dirinya agar tidak terbawa emosi. Ia mengingat siapa dirinya. Seorang guru besar, bukan anak-anak. Ia tidak rela untuk terlihat di depan keramaian, kalau dirinya meladeni kemarahan seorang pesakitan macam Vena. "Apa kamu gak juga menyadari ka,-" Kalimatnya tak berlanjut.

"Kenapa?!!!", potong Vena. "Kenapa?!!! Itu cuma satu pertanyaan kecil..." Vena menahan dirinya kuat-kuat agar egonya tidak dicambuk lagi untuk kesekian kalinya, hampir di sepanjang sejarah kehidupan yang ia kenal.

"Kamu adalah orang egois yang menyedihkan!" Suara si guru besar sudah terdengar gemetar, menahan amarahnya. Ia menahan air mukanya agar tetap tenang. Karena semua mata tertuju padanya, menyaksikan bagaimana ia akan mengatasi hal ini... selayaknya seorang guru besar.

"Apa yang anda tahu tentang hidup saya?!!!", jerit Vena. Baginya, terlanjur sudah ia berteriak. Asal jangan sampai ia terlalu jauh untuk salah berucap selain mempertanyakan, "Kenapa".

"Saya memasang mata dan melihat kelakuanmu beberapa bulan ini di asrama", Guru besar yang dipanggil Ricardo itu menahan nada suaranya agar tetap terdengar tenang, "Dan saya yakin, tulisanmu bisa membuat semua orang jadi kacau!!!"

"Tunjuk bagiannya dan jelaskan! Agar saya mengerti!!!" Vena menyodorkan setumpukan naskah yang baru saja ia pungut kembali dari tempat pembuangan di luar gedung asrama. "Tolong... tunjuk dan jelaskan..." Vena sudah terdengar merintih. "Saya tidak mengerti semua pesan yang anda coba sampaikan lewat semua perlakuan anda. Selain kerusakan hebat di dalam hati saya, lebih lagi dari yang sudah-sudah!!!"

"Itu pilihan kamu sendiri, anak muda", sahut Ricardo. Parasnya masih terlihat tampan, meski usianya sudah tidak terbilang muda. "Semua bisa berubah. Tetapi kamu..." Ia tertawa menyeleneh dan mengarahkan matanya untuk memutar berkeliling, berharap Vena juga melihat setiap picingan mata yang kini terarah padanya. Hanya padanya seorang, seakan ia adalah kengerian bagi dunia.

Vena memutar matanya, mengikuti arah pandang Ricardo. Ia menggigit bibirnya dan merasa percuma untuk menjelaskan apapun. Ia membalikkan tubuhnya dan tetap menapak, sekuat-kuatnya, tidak membiarkan banyak mata itu melihatnya runtuh. Ia berlalu pergi dari ruangan aula besar, di tengah-tengah acara besar yang sedang berlangsung, ketika amarahnya bangkit karena dirinya dijadikan percontohan bagi murid-murid yang lainnya, di mana Ricardo telah menunjuk kepadanya dan berkata, "Contoh buruk!"

Vena berlari di koridor yang dipastikannya betul, tidak ada sepasang mata pun yang bisa melihat air mata yang disembunyikannya. Namun sebuah interkom mengudarakan suara yang tertawa kencang, memberitakan air matanya pada semua penghuni asrama. "Dia menyedihkan, sampah dan pesakitan!!!"

Vena menghentikan langkahnya. Ia berbalik ke belakang dan melihat Ricardo berdiri menatapnya dengan wajah letih yang merasa serba salah, seakan mengatakan, "Aku tidak merancangkan yang barusan itu. Aku tidak bersalah."

Tetapi mulut Ricardo tetap mengatup bungkam. Ia pun tidak bisa menjelaskan banyak hal ketika banyak suara sudah mengudara lebih cepat dari kedipan matanya.

Rasa SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang