Bagian 18

1.4K 85 4
                                    

Vena menghisap rokoknya. Ia mengepulkan asapnya ke atas dan filter ruangan pun menyedotnya dengan cepat. “Aku gak sanggup lagi, Bu…”, lagi-lagi, Felli meraung-raung di pangkuan Vena. “Semua uangku habis. Lalu dia ninggalin akuuuu…”, sambung Felli,  merengek.

Vena menghela nafasnya panjang-panjang. “Sama”, sahut Vena datar, “saya pun pernah ditinggalkan. Itu adalah hal biasa…”, sahutnya sambil terus mengetikkan jarinya dengan lincah pada keyboard di hadapannya. “Lalu?”, sambung Vena seraya menghentikan ketikannya sejenak dan menoleh pada Felli di pangkuannya. “Dunia berakhir?”, kata Vena lagi, “dunia belum berakhir…” Ia melantunkannya dengan datar. Membuat Felli merengut karena Vena tak berempati seperti biasanya.

“Udah, sanaaa…”, tangan Vena mengibas-ngibas, “Tidur dan temukan harapan baru di hari yang baru…” Ia mengucapkannya dengan hambar, sehambar makna kalimat itu bagi dirinya sendiri. Felli terdengar menggerutu kecil lalu beranjak pergi dari situ.

“Oh, ya!”, sentak Felli sebelum langkah kakinya terlalu jauh, “nih, bahan yang bisa Ibu pake di dalam cerita!” Felli meletakkan sebuah flashdisk ke meja yang merapat ke dinding, dekat dengan ambang pintu.

“Iya”, sahut Vena datar. Ia mendengar langkah kaki Felli menjauh. Sementara matanya sudah terfokus kembali ke layar komputer. Dan disampingnya, Andra sedang meng-upload gambar terbarunya ke sebuah web di internet. Dan seperti biasa, Kimmy juga sibuk meng-upload lagu ciptaannya. Namun tak berapa lama kemudian, keduanya sudah berdebat tentang apa yang boleh diterbitkan untuk umum, apa yang tidak.

“dra!”, pekik Kimmy, “kita mengusung kebebasan berekspresi yang positif! Bukannya gambar porno!”

“Ini bukannya porno!”, sahut Andra jengkel, “ini anatomi tubuh perempuan di abad pertengahan!”

“Tapi, telanjang, dra!”

“Ini anatomi tubuh!”, sahut Andra, “bukan fashion! Jelas lah, kagak pake baju!”

Tak lama kemudian, Vena mendengar Sinta bercerita pada Dina, sambil mengerjakan tulisannya yang tertunda-tunda di setiap kali ia menoleh ke arah Dina. “Gila, Din… nyokap gue marah banget, baca cerpen gue. Maksud gue, kan… jangan berburuk sangka dulu kalo menemukan kata-kata yang membawa-bawa nama orang tua seakan seluruh orang tua akan dirusak citranya lewat cerita itu. Gue, kan... cuma mengetengahkan konflik yang dialami segelintir atau sebagian orang, bukan berarti semua orang tua begitu. Sisanya ya, gue dramatisir.” Sinta menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kenapa setiap pihak memiliki kekhawatirannya sendiri, ya? Konflik dan keadaan buruk di dalam cerita, langsung dianggap berniat merusak citra pihak-pihak tertentu di dalam kehidupan nyata. Padahal, udah gue cantumin kalo itu fiksi.”

“Mereka pikir, kamu di situ malah curhat, kali…”, Vena menyeletuk.

“Iya, kali”, sahut Dina, “masih untung, lo punya ortu. Gue? Udah gak punya…”

“Tapi mereka selalu aja malu dengan apa yang gue buat, Din!”, pekik Sinta. Lalu menoleh ke arah Vena. “Ibu pernah muda, kan?”, selorohnya pada Vena, “pernah gak, bu, pulang telat dikit, langsung dituding yang enggak-enggak? Dibilang, nanti rusak lah! Jangan mejeng di jalan, lah!” Sinta menghela nafasnya. “Saat itu, saya pikir... mungkin karena mereka gak tau, saya ngapa’in aja di warnet sampe pulang malem. Saya udah juara puisi dan juara cerpen juga, sampe beberapa kali. Dan uang hadiahnya, saya pake untuk beli laptop sendiri. Tapi…” Sinta menundukkan kepalanya sambil menyambung kembali, “Saat saya cerita’in prestasi saya… saya malah dimarahin. Katanya, saya menuliskan hal-hal yang buruk..."

Dina pun tertawa mendengar itu.

“Namanya juga, ortu. Maksud mereka, cuma mau kasih tau apa yang mereka pikir... baik", sahut Vena, datar.

Rasa SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang