Bagian 16

1.4K 90 4
                                    

“Kita adalah orang-orang yang berbakat”, kata Yvonne; perempuan yang Vena temui di pantai, yang kini memberinya tempat tinggal. “Dan langkah kita gak akan mati di saat mereka menganggap kita… sampah…”, sambung Yvonne. Tersisip kegetiran di dalam nada suaranya itu. Matanya pun mengerjap-ngerjap demi menyamarkan kilatannya yang membersit nanar.

Rumah besar Yvonne memiliki dua lantai dengan enam kamar di masing-masing lantainya. Yvonne menampung beberapa anak muda yang memiliki bakat-bakat tersendiri. Dan Vena, tidak bisa dikategorikan sebagai anak muda lagi di tempat itu. Semua memanggilnya, “Ibu Vena”, membuat Vena hampir merasa kalau dirinya sudah menjadi ibu dari dua belas anak di tempat itu.

“Ceritanya, keren!”, pekik Dina sambil bergelung manja di lengan Vena yang terduduk di depan layar komputernya. “Pedes, bu!”, sambung Dina lagi.

Vena tersenyum canggung pada Dina. Ia merasa tidak terbiasa dirangkul manja seperti itu. Sudah lama sekali, Vena tidak merasakan rangkulan semacam itu.

“Kalo baca cerita itu, aku ngerasa jadi berarti, bu”, kata Dina lagi dengan wajah meredup. “Dan gak takut salah melulu”, sambungnya. “Cerita ibu, bisa funky juga, ya…”

“Kenapa kamu ngerasa takut salah melulu?”, tanya Vena dengan kening berkerenyit. Bahunya mendadak kaku, dengan tangan Dina yang masih menggelung di situ.

“Aku selalu ngerasa kalo aku ini berandalan”, sahut Dina. Matanya terlihat berkilat-kilat. “Semenjak orang tuaku gak ada, orang-orang sering salah paham kalo aku pulang malem. Tambah lagi, aku kerja jadi waitress di pub. Aku kan cari uang halal. Tapi dianggapnya, aku macem-macem, bu…” Dina menuturkan ceritanya dengan mata berkilat perih. “Jadinya, aku sempet mikir untuk jadi orang brengsek aja sekalian…”

“sssttt…”, Vena meletakkan jari telunjuknya, melekat ke bibir Dina; gadis yang baru saja menjejak ke usia delapan belas tahun. “Jangaaan…”, kata Vena, “kamu masih muda, cantik dan berbakat, lagi… jangan ngerusak diri, ya…” Vena menarik lengan bajunya yang sebelah kiri, agar menutupi bekas goresan di pergelangan tangannya.

“Enggak, kok”, sahut Dina pelan. “Cita-citaku mau bikin film animasi buatanku sendiri. Tapi sayang, animasi buatanku… masih jelek, bu…”

“Ah, bagus, kooook…”, sahut Vena, mulai menikmati perannya di tempat baru tersebut. Semua orang di situ, menganggapnya baik.

“Jelek…”, sahut Dina dengan bibir manyun. “Temen-temenku dulu, sering bilang gitu.”

“Animasi kamu, bagus, kok…”, ulang Vena lagi.

“Bukan itu”, sahut Dina lagi sambil menggelengkan kepalanya, “jalan ceritanya yang jelek. Kesannya, brengsek…”

“Emangnya, animasi yang mana?”

“Animasi yang terakhir aku buat”, Dina meredupkan matanya, “tentang cewe yang frustasi, sampai akhirnya jual diri…” Dina menundukkan kepalanya. “aku sempet sampe trauma untuk bikin tontonan kayak gitu lagi.” Ia mengangkat wajahnya kembali. “Saat itu, aku coba menggambarkan, apa yang dirasakan tokoh utamanya yang labil, bu!”, suara Dina mulai terdengar meninggi, “bukan tokoh yang sehat, memang. Tapi aku coba menggambarkan, bagaimana dia bisa jatuh ke dalam hal-hal semacam itu. Setidaknya, aku enggak menyarankan penonton untuk meniru hal itu. Aku bahkan menggambarkan sebab dan akibatnya aja, kok. Untuk orang-orang bermental labil kayak gitu, kira-kira… apa yang timbul di dalam pikirannya dan niatnya ke depan.”

“ng…” Mulut Vena ternganga. “Mungkin, maksud mereka, mereka mau kamu memberi solusi di akhir cerita, yang membuat cewe itu keluar dari hidup semacam itu?”

Dina menggeleng. “Enggak. Mereka maunya, aku buat kisah cewe ABG yang hidup di lingkungan baik-baik sehingga hidupnya baik. Selesai, deh…” Dina memulas senyuman getir. “Sayangnya”, sambungnya, “aku gak tau kehidupan kayak gitu, gimana. Aku udah yatim piatu dari umur belasan tahun dan harus mempertahankan hidupku sendiri. Dan kerja jadi pelayan di pub, ketemu banyak orang lalu denger beberapa kisah tentang segelintir orang yang sebayaan sama aku, yang mengalami hal-hal yang aku ceritakan di dalam film animasiku itu. Kemudian, mereka jadi pergunjingan. Dan beberapa… ada yang mati bunuh diri atau mati dibunuh di jalan.”

Rasa SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang