Bagian 3

3.8K 189 2
                                    

Siang itu terasa terik. Vena sudah menapak masuk ke dalam ruangan besar Ricardo. Ia berdiri di hadapan seorang guru besar yang sedang duduk santai di balik mejanya, menatapnya tanpa berkedip.

Vena berdiri dengan wajah tengadahnya yang jelas dengan maksudnya; menyampaikan pesan keangkuhan pada Ricardo. Ricardo mengingat usianya dan mengapa ia duduk di balik meja itu. Ricardo, bukanlah orang sembarangan. Dan hari ini, sekali lagi ia dipersulit oleh sosok Vena yang entah siapa, baginya... maupun bagi dunia. Vena hanyalah perempuan penyendiri yang tidak tahu caranya bersikap.

"Kamu, saya panggil..." Ricardo baru saja meluncurkan beberapa kata dengan nada bicara yang berhasil mengalun dengan tenang, ketika Vena lagi-lagi berlaku kurang ajar padanya. Vena sudah mendekat ke tepian mejanya hanya untuk melantangkan suaranya, "Saya tidak tertarik dengan apapun tawaran anda!!!"

Ricardo terdiam. Wajahnya terhenyak. Tetapi kemudian, ia pun tertawa dengan tergelak-gelak. Ia bahkan sudah menepuk-nepuk mejanya dengan satu tangannya. Dan satu tangannya yang lain, sudah menyeka sudut-sudut matanya yang berair. "Astaga...", desis Ricardo sambil menggeleng-geleng kepalanya. "Bisa-bisanya kamu bi,-" Kalimatnya terputus. Ia pun tertawa lagi. Hanya saja, lebih kecil. Ia tampak bersusah payah untuk bisa menyurutkan tawanya itu. "hhhh..." Ia melengos. "Vena Sevia", katanya dengan nada yang berwibawa, "Kamu dipanggil karena... ini..." Ricardo menyodorkan sebuah amplop putih panjang dengan menggereknya di atas meja hingga mendekat maju ke arah Vena.

"ng..." Vena terdiam. Ia memicing pada amplop itu. "Apa itu?"

"Ambil dan baca", sahut Ricardo. Ia melipat kedua tangannya di atas meja. Matanya meredup sambil berkali-kali menghela nafasnya. "Kamu baru saja memulainya, Vena... tapi kelakuan kamu itu..."

"Anda jangan menghakimi saya terus!!!", Vena meninggikan nada suaranya begitu saja, "Anda gak bisa, ya... jangan selalu menuding saya!!!" Mata Vena sudah berkaca-kaca. Ia memajukan separuh tubuhnya untuk bisa melihat wajah Ricardo dengan lebih jelas.

"Vena..." Suara Ricardo melantun pelan sementara matanya meredup. Vena ingin mempercayai kalau bias di mata itu adalah bentuk keprihatinan. Tetapi ia menolak apa yang ia sendiri ingin percayai. "Vena..." Ricardo kembali menyebut nama itu. Nama yang seringkali enggan untuk disebutnya. "Saya mengajar kamu hanya tentang kesalahan yang kamu lakukan di sini. Bukan menghakimi keseluruhan hidup kamu. Kenapa... kamu...", Ricardo memperlambat kalimatnya, "merasa... kalau saya menghakimi seluruh kehidupan kamu?" Ricardo berdehem kecil, merasa enggan untuk membahas hal yang sesungguhnya adalah hal pribadi. "Saya cuma mau meluruskan satu hal saja, Vena. Kamu menulis hal-hal brutal dalam cerita kamu itu. Dan tentang kejadian... ng... pergunjingan itu... sungguh, itu bukan niatan saya. Itu hanya ulah segelintir orang yang iseng saja. Mereka menangkap pesan saya dengan salah. Saya tidak bilang kamu buruk sebagai manusia. Tulisan kamu... yang sedang saya nilai..."

Vena terdiam. Ia mengeraskan rahangnya. Mulutnya mengatup. Satu tangannya sudah menyambar amplop putih di hadapannya dan ia pun membukanya lalu membaca isinya...

Selesai membacanya, Vena mengangguk kecil. "Saya gak keberatan tentang pemutusan beasiswa ini. Tapi... kenapa... anda biarkan mereka meng,-" Suara Vena tercekat. Ia tidak bisa menahan air matanya lagi.

Ricardo melenguh panjang. Vena adalah murid tertua di angkatan yang direkrutnya sejak dua bulan yang lalu. "Vena...", nada suara Ricardo terdengar semakin pelan, "Gunjingan itu bukanlah ulah saya. Tetapi berita bisa bocor keluar. Dan orang-orang yang mendengarnya, menangkapnya dalam bentuk pesan yang berbeda-beda... saya benar-benar... tidak pernah bermaksud..."

"Apa anda sedang minta maaf?", sambar Vena cepat. "Terima kasih. Itu pasti berat dengan status anda sekarang. Apalagi... di mata anda... saya bersalah, kan?"

Rasa SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang