Bagian 22

1.4K 87 3
                                    

Bagian yang melegakan bagi Vena, dengan posisi “berdua” ketimbang “sendiri” adalah mendapatkan “second opinion” mengenai apa yang didengarnya dan dilihatnya. Ia dan Rudy sudah duduk di sebuah tempat makan kaki lima di pinggir jalan. Dan malam itu, mereka baru saja selesai menyantap ayam bakar kesukaan mereka.

Rudy tersenyum, melihat Vena yang menunduk cepat ketika sekumpulan pengamen melantunkan lagu “Pacarku, ayo kita pulaaaang…”

“Mereka bernyanyi untuk menghibur semua orang, Ven”, bisik Rudy di telinga Vena, “bukan mengejek kamu…”

Vena pun mengangkat kepalanya kembali dan menyiapkan selembar uang besar di tangannya.

Rudy pun kembali tersenyum. “Vena”, katanya, “kamu tidak perlu bersikap berlebihan karena berpikir semua orang sedang menilai-nilai kamu, apakah kamu baik atau enggak. Jadi diri kamu sendiri. Dan bila memang kamu mau memberi…”, Rudy melirik selembar uang lima puluh ribuan di tangan Vena, “lakukan dari hati, bukan karena situasi.”

Vena tersenyum malu dengan wajah merah. Ia menukar uang lima puluh ribuannya dengan uang lima ribuan. “Sejujurnya”, bisik Vena dengan wajah yang mendekat ke wajah Rudy, “uang saya memang tinggal lima puluh ribu untuk ongkos ke pusat pelatihan, selama tiga hari ke depan, Rud.”

Rudy mengangguk pelan. “Saya mengerti apa yang kamu rasakan, Ven.” Rudy melengos. Ia berhenti bersuara ketika pengamen telah selesai bernyanyi dan membawa kantong uangnya berkeliling. Vena pun memasukkan uang yang terkepit di tangannya ke dalam kantong uang yang singgah di hadapannya. Begitu pun dengan Rudy. Kemudian Rudy meneruskan, “Kamu gak tahu, kan… apa yang saya alami setelah terakhir kamu mengusir saya?”

Vena langsung merunduk.

“Jangan salah paham”, sahut Rudy cepat-cepat, “hal itu bukan masalah besar, kok. Saya cuma mau bilang, saya pun pernah mengalami yang kamu alami karena kasus di pekerjaan saya itu. Untungnya, bisa selesai dan semua diklarifikasi. Meski… ya, efeknya masih terasa…”

Vena mengerenyitkan keningnya. “Saya minta maaf udah begitu egois, Rud.”

“Gak apa-apa”, sahut Rudy pelan. “Kamu cuma harus melihat”, Rudy mengarahkan matanya berkeliling. Vena pun mengikuti arah pandangnya. “Di sekeliling kita”, sambung Rudy, “banyak orang terluka. Dan itu wajar. Namanya juga… hidup. Tapi”, Rudy menatap Vena lekat-lekat sambil melanjutkan, “ada juga yang menghibur dan berusaha membangkitkan semangat kamu lagi. Sayangnya, kamu gak mau lihat, sih…”

“Siapa?”

“Salah satunya… saya.” Rudy tersenyum lalu melanjutkan lagi, “kalo kamu juga mau tersenyum… setidaknya”, Rudy mengangkat kedua alisnya, “saya juga punya semangat tambahan untuk membangkitkan lebih banyak orang lagi…”

“Apa kamu setia?”, tanya Vena tiba-tiba.

“ng…” Rudy sudah terkekeh. “Semua orang… gak ada yang berharap dirinya gak setia, Ven. Doakan saja, ya.” Kemudian Rudy melirik Vena dengan malu-malu sambil membuka mulutnya lagi, “Apa sekarang… status kita… pacaran?”

“Rudy…”, Vena menyahuti dengan wajah merengut, “Saya pikir, kamu sudah menganggap saya sebagai pacar resmi sejak kemarin…”

DUARRR!!!

Suara menggelegar itu membuat Vena kontan meluncur turun untuk berjongkok ke bawah dan bersembunyi di kolong meja.

“Vena!” Rudy memanggil sambil ikut berjongkok turun dan melongok ke kolong meja. Ia mendapati Vena sudah meringis, menutupi kedua telinganya dengan tangannya yang gemetar. “Vena…”, panggil Rudy lagi dengan mata terenyuh. “Itu cuma suara ban motor yang pecah…” Tangannya pun bergerak perlahan untuk menyambar bahu Vena, meremasnya kuat-kuat dan berbisik, “Kamu gak sendirian. Ayo…” Rudy mengulurkan satu tangannya yang lain.

Vena meraih tangan Rudy dan akhirnya bergerak keluar dari kolong meja. Beberapa mata sudah menatap Vena dengan pandangan mata terheran-heran. Sebagian lainnya, hanya tertawa kecil. Rudy pun merangkul bahu Vena kuat-kuat sambil berbisik lagi, “Ingat, Ven…”, katanya, “kamu gak sendirian. Kalo kamu merasa malu, saya gak akan malu mendampingi kamu. Kalo kamu ngerasa kecil, saya akan membesarkan hati kita berdua untuk tetep sama-sama. Jangan takut, ya…”

***

Rasa SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang