Bagian 20

1.3K 84 0
                                    

“Biar saya perjelas buat kamu ya, Ven”, tutur Mita-ibunya Tina. “Kasian orang tua kamu! Sampai kapan kamu bikin mereka malu?!” Suaranya mendadak memekik. Rasa sakit, marah dan kecewa, membersit jelas di kedua matanya yang membelalak.

“Ah?” Vena mengangakan mulutnya. Ia tak sengaja bertemu dengan Mita di sebuah supermarket.

“Saya udah maafin kamu soal Tina. Tapi kamu!”, nada suara Mita terdengar meninggi lebih lagi, “kenapa kamu tambahin perih di hati saya?! Dengan membuat isu kalo Tina memilih jalan itu karena orang tua yang tidak becus menjaga anaknya?!”

“Ah?” Mata Vena mengerjap-ngerjap. “Kapan saya bilang begitu, tan?!” Vena menoleh ke sekelilingnya yang kali ini, bukan lagi tersirat. Tetapi secara terang-terangan, semua orang sedang memicing tajam ke arahnya. Ia mengenal beberapa orang di antara mereka sejak masa remajanya.

“Kamu buat kesan, kalo orang tua itu terlalu mengekang lah!”, sahut Mita dengan mata yang semakin membelalak, juga dengan dada yang bergerak turun-naik. “Apa kamu gak tahu pengorbanan orang tua itu seperti apa, hah?!!!” Mita memekik dengan semakin marah. “Saya berusaha mati-matian untuk melindungi dan membesarkan anak-anak saya! Tina sampe mencuri, bukan berarti saya gak becus memenuhi kebutuhan hidupnya!!! Kamu gak tau, apa masalah kami!!!” Suara Mita sudah terdengar gemetar, begitu pun dengan kedua bahunya.

“Tunggu, tan!”, pekik Vena sambil mengangkat tangannya. “Tante tau itu, darimanaaaa?!”

“Tulisan kamu itu!!!”

“Tante baca?!”

“Saya denger dari orang!!!”, pekik Mita dengan mata yang berkilat-kilat. “Tega-teganya, kamu melukai hati saya seperti ini!!! Nanti kalo kamu jadi ibu, baru kamu tau rasanya!!!”

Kemudian Mita berlalu pergi dari situ sambil menyenggol bahu Vena dengan cukup kencang. Vena memutar matanya berkeliling. Keningnya sudah berpiluh. Namun seburuk apapun kelihatannya, ia mengingat pengalamannya terdahulu. Bila ia berjalan merunduk, ia akan habis jadi bulan-bulanan cacian ataupun cemoohan. Ia pun tetap berusaha menegakkan kepalanya. Namun kakinya melangkah cepat untuk melengser pergi dari situ.

Dan di tengah jalan masuk menuju rumahnya, Vena tak henti-hentinya meremas keningnya sendiri. Aku mengalaminya lagi, batinnya. Lebih besar, sebagaimana yang Pak Ricardo bilang…

***

Beberapa bulan kemudian, Vena sudah mendapatkan jawabannya saat dirinya menghadap Vonny di ruangan kerjanya.

“Untuk tulisan tajem kayak gitu, penulisnya juga dituntut punya mental kuat, Vena”, kata Vonny.

“Bu, kali itu… saya nulis on line untuk mengekspresikan diri sekaligus menghibur, bukan mengajak orang berantem”, sahut Vena.

“Tapi, on line itu tempat umum dan siapapun bisa mengunjunginya. Lalu mereka bisa membaca cerita kamu itu dengan penafsiran mereka yang berbeda-beda…” Vonny tersenyum pada Vena. “Makanya, saya nolak tulisan kamu waktu itu karena saya lihat, mental kamu gak kuat. Dan kamu harus belajar lagi tentang sudut pandang.”

“Apa?”

“Untuk melakukan sesuatu sampai ke atas, selain kamu harus memperlengkapi diri kamu dengan pengetahuan dan wawasan serta kepekaan terhadap lingkungan, kamu juga harus memiliki mental yang kuat serta kepercayaan diri yang tinggi. Tapi kalo dari segi kerohanian, bila kamu anak Tuhan, karya kamu harus memiliki ciri anak Tuhan. Rasanya, memang seakan-akan, kamu dibatasi. Tetapi pilihan itu kembali ke tangan kamu karena tangan kamu yang menulisnya.” Vonny menyambar gelas di dekatnya dan meminum airnya lalu melanjutkan, “mulailah dengan menutup lembaran lama. Dan memulai yang baru…”

Rasa SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang