Bagian 21

1.3K 85 1
                                    

Vena tahu kalau Rudy mungkin saja kapok mencari dirinya kembali. Tetapi kini, Vena lah yang berkunjung ke tempatnya. Dan ia berharap kalau Rudy tak sampai hati mengusirnya. Dan tindakannya kali ini, adalah langkah ketiganya setelah mendaftar masuk kembali ke pusat pelatihan.

Rudy tinggal sendirian di sebuah apartemen yang terletak di kawasan yang cukup padat dengan pusat perbelanjaan. Ia cukup mapan di usianya yang lebih muda dari Vena. Vena menunggu di loby tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan berharap Rudy lekas muncul ketika hari sudah gelap.

Dan harapannya terkabul. Ia melihat Rudy muncul memasuki pintu utama dengan bibir yang tersenyum lebar. Rudy terlihat gagah dengan stelan kemeja formilnya dan potongan rambutnya yang baru.

“Ayo, cepet!” Rudy memekik sambil menoleh ke belakang. Ia berdiri menunggu.

“Rud!” Vena memanggil, bertepatan dengan kemunculan seorang perempuan muda yang penampilannya terlihat menarik, yang langsung saja merelung manja di lengan Rudy.

“Vena!” Rudy memekik, melihat kehadiran Vena. Tetapi Vena mendadak kaku di tempat. Ia berpikir kalau dirinya muncul di waktu yang… terlambat. Dan beberapa pasang mata tampak memicing tajam ke arahnya. Beberapa lontaran pun menyambar telinganya.

Freak!”, begitulah yang Vena dengar. Selebihnya, Vena hanya mendengar tawa cekikikan, dengan selalu berpikir bahwa hal-hal yang negatif, akan selalu ditujukan kepadanya. Ia menundukkan kepalanya lalu mengusahakan wajah terbaiknya untuk tersenyum pada Rudy dan siapapun yang sedang merelung manja di lengan kanan Rudy itu.

“Hai! Gimana kabar kamu?!” Rudy memekik senang dan melepaskan relungan tangan perempuan di sampingnya sembari beranjak mendekati posisi Vena yang sudah bangkit berdiri.

“ng… baik”, sahut Vena. “Sekarang, saya masuk pusat pelatihan lagi, Rud…”, sambungnya sambil terus memegangi bagian bawah blazernya. “sebagai murid tertua di situ… ehehe…” Ia mencoba tertawa.

“Bidang menulis lagi?” Rudy tampak berkerenyit. Membuat Vena berpikir kalau Rudy sudah menilainya dengan begitu buruk. “Hebat!” Tetapi itulah yang Rudy lontarkan. “Saya pikir, kamu bakalan kapok, Ven!” Ia mengekeh. Dan lontarannya membuat Vena beringsut mundur. Namun seakan mengerti apa yang Vena pikirkan, Rudy bersuara lagi dengan cepat, “Saya denger berita panasnya, kok. Tapi gak usah khawatir…” Rudy sudah meletakkan tangannya ke punggung Vena, “Sedikit orang yang berani mencoba lagi di posisinya yang seperti kamu itu, Ven.” Ia merapatkan dirinya ke samping Vena dan mulai mengajak Vena melangkah. Vena menoleh ke belakang. “Dia…” Vena menunjuk ke perempuan yang kini melambai kecil ke arahnya.

“Saya, adiknya Rudy”, kata perempuan itu, “nama saya, Dita.”

Vena pun melengos lega. Adik, bukan saingan, batinnya.

“Kamu udah makan?”, tanya Rudy. “Dita lumayan bisa masak yang enak. Kamu mungkin mau coba masakannya?”

Vena mengangguk pelan. “Boleh”, sahut Vena, “tapi kalo gak enak, saya gak dipaksa makan sampe habis, kan?” Ia menyuarakannya dengan enteng. Rudy dan Dita hanya tertawa mendengarnya.

“Gak akan sampe di-bully, kok”, sahut Rudy sambil mengekeh kecil. Dan ketika memasuki lift, Rudy melihat Vena tampak tidak nyaman karena beberapa orang di dalam lift, memperhatikan tampilan Vena dari atas sampai ke ujung sepatunya. Rudy pun melayangkan satu tangannya untuk merangkul Vena. Ia tidak malu mengakui siapa tamunya kali ini. Ia membayangkan kalau dirinya sedang merangkul seseorang yang bisa saja, beberapa tahun mendatang akan dikenang sebagai sosok yang membanggakan. Sekalipun tidak, Rudy akan mengenang dirinya sendiri sebagai orang yang mendampingi Vena di dalam segala kerapuhannya. Karena ia berniat melanjutkan ceritanya dengan Vena untuk masa yang akan datang.

“ng… Vena”, Rudy mulai bersuara, “kamu belum punya pacar, kan?”

***

Rasa SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang