Bagian 15

1.4K 81 1
                                    

Vena duduk di sebuah rumah makan dengan sajian menu spesial; Sup Ikan. Ia baru saja menghabiskan semangkuk sup yang terasa gurih tersebut, dengan sepiring nasi. Lalu menghitung lembaran uang di kepitan tangannya. “Satu juta lima ratus ribu”, desisnya, “dalam setengah hari…”

Vena mulai mengguratkan coretan ke lembaran buku agendanya, untuk menghitung-hitung pemasukannya dalam seminggu, bila dalam sehari ia bisa mencapai angka dua juta. “Ini… bener-bener… wow”, desahnya pelan. Samar-samar, didengarnya bisik-bisik di meja belakangnya, “Norak…”

Vena mengabaikannya. Ia mulai membiasakan dirinya untuk sibuk menghitung target pemasukan ketimbang mereka-reka arti lontaran orang-orang di sekelilingnya. Ia mengingat perkataan Juno sebelumnya, “Hasilkan!”

Hasilkan yang banyak, batin Vena. Bibirnya tersenyum. Samar-samar, ia mendengar lontaran berikutnya, “Ketinggalan…”

Lalu Vena mendengar kasak-kusuk lainnya, “Kasian deh, loh…”

Vena bangkit dari duduknya sambil berjalan ke meja layan. “Pak… pesen supnya lagi, ya. Dua porsi dibungkus, Pak”, katanya pada si pelayan. Dan samar-samar, ia mendengar tawa cekikikan lalu disusul lontaran, “Orang susah…”

Vena menahan nafasnya sejenak saat lontaran berikutnya, kembali menyambar telinganya, “Udah tua, masih ketinggalan aja…”

Cukup!, batin Vena sambil menarik keluar telepon genggamnya dan berpura-pura menghubungi seseorang. “Halo, Pak! Pesen selotip segede ukuran mulut, ada?!” Nada suaranya meninggi. Ia melemparkan pandangan memicingnya ke sumber suara yang terus saja mengusik telinganya. Dan yang dilihatnya, hanyalah dua orang remaja yang sedang asik membaca cerpen di sebuah majalah. Vena pun menurunkan telepon genggamnya dengan wajah merah. Lalu kembali ke mejanya untuk menunggu pesanannya selesai dibuat. Samar-samar, telinganya kembali menangkap kalimat-kalimat yang membuatnya terus menggusar.

“Ini pernah terjadi, loh”, kata salah satu anak remaja di balik punggung Vena.

“Masa, sih?”, sahut temannya, “kok, ada, ya… orang jahat kayak gitu. Bikin temen sendiri sampe bunuh diri… ck ck ck…” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bener-bener racun, ya…”

Vena pun langsung menundukkan kepalanya. Posisi duduknya sudah tidak terasa nyaman. Hati senangnya mendadak lenyap. Ini gak pernah berakhir, ia membatin perih. Hal baik yang kulakukan, akan selalu terlihat kurang baik. Dan berdiam diri, akan terlihat semakin tidak baik. Tidak ada yang baik. Tidak ada yang terlihat dan terdengar baik lagi, keluhnya di dalam hati. Ia meremas setumpukan uang yang masih tergenggam di tangannya kemudian memasukkannya ke dalam dompetnya.

Tak berapa lama kemudian,

“Pesanannya, mbak”, kata si pelayan rumah makan sambil meletakkan bungkusan makanan ke hadapan Vena. Vena pun membayar semuanya dan berlalu pergi dari situ.

Apakah aku harus terjun ke laut?, batinnya. Enggak! Kalian hanya akan tertawa melihatku terjun ke laut! Aku takkan membuat kalian tertawa lagi!

Setumpukan uang yang tadinya terasa besar di tangannya, kini dirasanya begitu kecil.

Mungkin, aku harus mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menyumpal mulut kalian?, batinnya menggeram. Baiklah! Sekarang, aku jadi orang jahat!

Hati Vena menggemuruh di dalam dendam. Ia tidak sanggup lagi menanggungnya dengan hanya berdiam diri dan terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri.

***

Rudy duduk-duduk di teras rumah Vena, malam harinya. Ia terus mengajak Vena berkomunikasi namun Vena terus saja berdiam diri dengan wajah yang suram. “Vena”, kata Rudy lagi, “belum tentu, mereka membicarakan kamu.”

Rasa SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang