Bagian 12

1.6K 91 0
                                    

Di malam yang sunyi, Vena hanya bisa mendengar suara bisik-bisik ibunya dengan sang ayah, di dalam kamar utama.

“Aku bener-bener khawatir sama keadaan Vena, Pap…”, rintih Siska di saat itu pada suaminya.

Vena pun menyendengkan telinganya hingga merapat ke pintu, agar bisa mendengarkan percakapan orang tuanya dengan lebih jelas.

“Bukan salah kamu, mam”, sahut Stephen si suami. “Sesuatu terjadi pada Vena, di luar dugaan kita. Kita sudah mendukung dia sedemikian rupa dan dia tumbuh menjadi anak yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi serta memiliki mental yang kuat. Entah apa yang terjadi, aku juga tidak tahu. Tapi…”, suara Stephen berangsur menipis, “kita jangan menyalahkan diri sendiri terus, mam.”

“Tapi, pap…”, sambung Siska lagi, “seandainya aku gak ikut kamu, aku bisa dampingin Vena. Setidaknya, di saat dia mengalami masalah berat, dia gak ngerasa sendirian…”

“Sebelumnya, kita berpikir kalau dia sudah cukup dewasa. Lagipula… saat itu... ada Nova, Tina, Danny dan Reina, mam”, sahut Stephen, “mereka adalah orang-orang terbaik yang kita percayai selama ini. Juga yang terdekat bagi Vena.”

“Mungkin”, sambung Siska lagi, “Vena depresi semenjak Tina meninggal?”

“Entahlah. Tapi mamanya Tina sudah bilang ke kita, kalo Tina gak pernah menyalahkan Vena. Tina menyalahkan dirinya sendiri.”

Sampai di situ, Vena sudah tercengang mendengarnya. Ternyata orang tuanya pun, telah mengetahui apa yang menyebabkan Tina melakukan bunuh diri. Wajah Vena pun berubah merah. Ia tidak memiliki “muka” lagi untuk melihat kedua orang tuanya. Ia merasa ditelanjangi dan merasa tidak pantas lagi untuk mendengar bagaimana ayahnya selalu membanggakannya. Sementara ibunya selalu menganggapnya kesayangan. Dan samar-samar, Vena masih mendengar percakapan orang tuanya…

“Hidupnya begitu kacau setelah Danny pun meninggalkannya. Ia juga dikeluarkan dari pusat pelatihan. Dan kita gak tau, kalo itu akan terjadi”, sambung Stephen lagi, “mamanya Tina baru menceritakannya kepadaku tadi sore, mam.”

“Astagaaa…”, rintih Siska, “kasian, Venaaa…” Ia terdengar mengisak parau.

“Dan Reina… membenci Vena, sekarang”, sambung Stephen lagi, “karena Vena mencemarkan namanya. Bahkan, Vena membuat Pak Ricardo dipecat.”

“Astagaaa…”, rintih Siska lagi, “anak kita sudah berubah menjadi apaaaa, paaaaap?”

Itu gak bener!, pekik Vena di dalam hatinya. Dadanya bagaikan melesak ke dalam, seakan dihimpit benda berat yang menimpa ke situ. Aku gak jahat, ma! Aku gak jahat!, pekik Vena lagi di dalam hatinya. Matanya sudah berkilat merah dan basah. Sementara rahangnya mengeras dan gigi-giginya gerahamnya sudah saling beradu. Ia mengatupkan mulutnya rapat-rapat agar jangan mengeluarkan suara sedikitpun.

“Bahkan…”, sambung Stephen lagi, “anak kita pernah memakai narkoba. Apa kamu liat goresan di pergelangan tangannya?”

Itu gak bener!!!, pekik Vena lagi di dalam hatinya, Aku mencoba beberapa cara untuk mati dan aku tidak meneruskannya, karna aku takut mati, pa!!!

“Ya, Tuhaaan…” Siska sudah meledak di dalam tangisannya. Namun suaranya disurutkan agar tak terdengar keluar kamar. Namun Vena mendengarnya. Ia mendengar bagaimana ibunya menangis perih. “Aku udah gagal sebagai ibu!”, pekik Siska di tengah-tengah erangan tertahannya. “Apakah anak kita bisa kembali normal? Dan Danny mau kembali padanya?”

“Entahlah, ma”, sahut Stephen.

Vena menjauhkan kepalanya dari pintu sambil menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Usiaku 32 tahun. Dan aku tidak berguna, batinnya, bahkan menjadi racun bagi semuanya…

Rasa SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang