Bagian 17

1.3K 80 0
                                    

Waktu telah berjalan ke beberapa bulan. Dan di malam ini, Vena sudah mendengar Felli menangis sesegukan lagi di pangkuannya. “Aku mau sambung curhatan aku yang tempo hari, Bu!”, pekik Felli, “pacar aku nyakitin hatiku banget, buuuu... Aku mau mati aja, rasanyaaaa...” Felli mulai tersedu-sedu.

“ng…” Vena menelan ludahnya. Ia pernah berpikir sama ketika hatinya pun terasa begitu sakit. “Jangan ngomong sembarangan.” Vena menelan ludahnya lagi. “Hidup itu…”, keningnya mulai berkerenyit, “berharga…”

Vena melengos. Begitu melelahkan baginya hanya untuk bisa mengeluarkan kata-kata semacam itu. Ia pun membelai rambut Felli dengan lembut. “Udah, deh… kamu istirahat aja, ya…” Vena melirik jam dinding yang sudah menunjuk ke pukul dua belas malam. Dan langkah kaki Yvonne pun sudah terdengar mendekat di belakangnya.

“Vena!”, panggil Yvonne, “aku harus ngomong empat mata sama kamu, nih…”

Felli pun mengangkat kepalanya sambil menyeka kedua sudut matanya.

“Felli!”, Yvonne memekik pada Felli, “jangan cengeng! Kita punya tujuan hidup yang lebih penting dari sekedar nangisin pacar!”

Felli tampak merengut lalu berlalu pergi dari ruang kerja yang disediakan Yvonne di bagian belakang rumah. “Hatinya lagi pedih”, gumam Vena pelan.

“Jangan membiasakan mereka mengasihani diri sendiri dengan berlarut-larut, Ven!”, sahut Yvonne. “Mereka mulai jadi lembek, sejak ka,-“ Yvonne menghentikan kalimatnya. “Sori…”, katanya kemudian sambil melengos. Urat-urat lehernya tampak menegang. “Lihat ini!” Yvonne melemparkan surat kabar ke meja kosong di samping Vena. “Ada anak muda yang bunuh diri lagi…” Yvonne meluncur turun untuk duduk di kursi putar yang tak jauh dari Vena. Wajahnya terlihat letih.

“ng…” Vena menelan ludahnya. “Kelihatannya, kamu perduli sama mereka?”

Yvonne pun menegakkan posisi duduknya dengan cepat. “Apakah kamu enggak ngerasa kayak gitu?!”

Vena terdiam.

“Aku punya kakak laki-laki yang pernah terjun dari atap gedung, Ven…”, tutur Yvonne kemudian. “Dia masih muda dan sangat berbakat. Entah dia melakukan kesalahan atau enggak, aku gak bisa terima cara dia mengakhiri hidupnya kayak gitu…” Yvonne mengusap wajahnya. Saat tangannya sudah bergerak turun kembali, Vena bisa melihat air mata Yvonne sudah menggenang di pelupuknya. “Penderitaan yang panjang, Ven…” Yvonne mulai terisak. “Orang tuaku pun sempat jadi sorotan orang banyak. Mereka merasa gagal sebagai orang tua. Mereka dihakimi. Kakakku itu pun, masih saja dihakimi, meski jasadnya sudah dikebumikan. Aku pun mengalami dampaknya… sangat… berat… dan… menyakitkan…”

“Yvonne…”

“Sangat sakit, Ven!”, Yvonne menyambung lagi dengan tiba-tiba, “kami sekeluarga merasa gagal! Merasa… seperti… sampah. Tak ada harapan…” Yvone mulai menyembunyikan wajahnya di balik untaian rambut panjangnya yang terlihat halus dan ringan, dengan sedikit highlight di bagian depannya.

“Yvonne…”

“Bahkan gak cukup sampai di situ!” Yvonne menyentak lagi sambil mengangkat kepalanya sekaligus menyibakkan rambutnya. Matanya sudah terlihat sembab. Sementara wajahnya sudah terlihat basah. “Aku gak bisa terima, ketika sebagian orang mewajarkan apa yang terjadi padanya sebagai hal yang pantas untuk diterimanya.”

“Maksudnya?” Vena mengerenyitkan keningnya.

“Sebagian orang menganggap, kalau kakakku itu bertanggung jawab secara tidak langsung... atas terlukanya beberapa orang.”

“Kenapa bisa begitu?”

Yvonne mengangkat kedua bahunya. “Tidak ada berita yang benar-benar jelas. Tapi aku percaya kalau dia gak salah...” Yvonne menundukkan kepalanya dan mulai bergerak maju-mundur di posisi duduknya itu, sambil meluncurkan erangan yang bercampur dengan tangisan. “Aku… marah, Vena…”

Vena terdiam. Ia merasa dirinya pernah begitu marah hingga terlihat mendendam seperti itu. Tetapi ia tidak pernah berpikir untuk benar-benar membalaskan sakit hatinya. Ia hanya ingin menceritakan kesakitannya, juga kesakitan orang-orang di sekelilingnya, dalam bentuk cerita fiksi yang diramunya dengan macam-macam rasa. Pedas, adalah rasa yang paling dominan di dalam ceritanya itu.

“Kita punya tujuan yang gak boleh berakhir, Ven…”, Yvonne bersuara lagi. “Penindasan terjadi di mana saja, di dunia ini. Anak-anak musik menyuarakannya di dalam karya mereka. Begitu pun dengan anak-anak yang bikin puisi maupun cerita fiksi. Teruskan, Ven! Ingat… satu suara…” Yvonne menatap kedua mata Vena lekat-lekat. Sementara Vena mulai mengingat kalau beberapa cerita terakhirnya, sudah melaju ke warna lain, ke warna romansa panas yang penuh gairah. Vena juga mulai bertanya-tanya di dalam hatinya, apakah Yvonne tahu tentang perkara Tina…

“Beberapa anak muda di belahan dunia lain pun, sudah menyuarakannya, Ven…”, sambung Yvonne lagi, “kita harus buat perubahan!” Mata Yvonne sudah menerawang nanar ke kejauhan.

Vena menelan ludahnya lagi. “Apakah kamu menentukan tema tulisan saya?”, tanyanya pelan.

“Hentikan penindasan! Buat perubahan!"

***

Rasa SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang