Bagian 19

1.4K 85 0
                                    

Vena mengeluarkan laptop yang akhirnya bisa dimilikinya, sambil duduk-duduk di kursi taman. Ia melanjutkan cerita yang dulu pernah ditunjukkannya pada Vonny dan Juno. Jemarinya menari-nari dengan lincah, menekan tuts-tuts keyboard di laptopnya, tanpa lelah dan tanpa henti.

Ia mulai menulis…

Sepanjang malam, dilaluinya sendiri dengan hanya berteman jangkrik dan bunyi ketak-ketik. Sepi, dirasanya cukup asik. Gemericik air kolam sedikit berisik. Semilir angin malam masih saja berbisik, “Jari mengetik, hati melirih.”

***

“Makanya, jangan setengah-setengah”, Vena mendengar lontaran itu mengudara dari radio yang menyala di sebuah kedai makan. Vena baru saja menghabiskan ayam bakar yang terasa lembut, dengan bumbu yang meresap sampai ke dalam dagingnya. “Kalo ke sini, gak masuk”, sambung suara di radio itu lagi, “ke sana juga gak masuk… lalu kamu akan menjadi lawan dari semuanya. Lebih baik, kamu memilih ketimbang diserang oleh semuanya secara bersamaan…”

Vena melengos. Ia menoleh ke samping kirinya, sekumpulan orang sedang menatapnya dengan serempak.

Hanya perasaanku, Vena membatin, mengingat pengalamannya terdahulu, bagaimana ia bereaksi berlebihan terhadap cara orang memandangnya atau melontarkan sesuatu kepadanya. Vena pun menoleh ke sisi kanannya dan kembali menemukan sekumpulan orang yang juga sedang menatapnya secara bersamaan. Hanya kebetulan, batin Vena lagi. Ia tidak mau kembali ke masa-masa paranoid-nya.

Vena pun bangkit berdiri setelah membayar semua makanannya pada si pelayan kedai makan tersebut. Lalu melangkah keluar dari situ dengan langkah yang gontai. Ia mengingat orang tuanya. Sekian lama, ia putus komunikasi sama sekali karena nomor telepon genggamnya tidak aktif lagi. Mama… papa, batinnya, aku pulang…

***

Vena meragu ketika kakinya sudah menapak ke depan gerbang rumahnya. Ia merasa kalau usianya sudah sangat dewasa untuk memiliki kehidupannya sendiri dan berhenti merepotkan orang tuanya, yang selalu saja disambanginya kembali, di saat dirinya merasa tidak memiliki apa-apa lagi.

Vena melihat garasi rumahnya kosong. Papanya bekerja di jam-jam seperti ini. Dan mamanya, mungkin saja sedang mengikuti kegiatan sosial. Mamanya dikenal aktif di bidang itu. Dan Vena… sungguh bagaikan duri dalam daging bagi orang tuanya, bila ia mengingat bagaimana dirinya disebut-sebut sebagai “anti sosial.”

“Vena…” Satu suara yang terdengar familiar itu, sungguh mengejutkannya. Rudy?, batinnya. Bukan…

“Pak Ricardo?” Vena menyuarakannya dengan mata yang membesar.

“Kebetulan sekali, kamu ada…”, kata Ricardo, “apa orang tua kamu juga ada?”

Vena terdiam. “Saya… baru sampai, Pak. Kemungkinan, mereka gak ada di rumah. Tapi saya punya kunci serepnya.” Vena memperhatikan tampilan Ricardo yang tidak terlihat formil seperti biasanya, hingga membuat Ricardo terlihat sama seperti orang kebanyakan. Ricardo mengenakan t-shirt biasa dan celana denim hitam.

“Kenapa Pak Ricardo bisa ada di sini?”, tanya Vena dengan kening berkerenyit. “Ini pasti… sesuatu yang genting.”

Ricardo melengos. “Vena… bisa bicara di dalam? Ini memang genting.”

Vena terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Melihat raut wajah Ricardo sekarang, mengingatkannya pada peristiwa buruk yang telah lalu, ketika Ricardo menegur Vena tentang tulisannya. “Ini… bukan tentang tulisan saya di internet, kan?”, tanya Vena dengan suara menipis.

Ricardo menatap lurus pada Vena. “Ini tentang tulisan kamu.”

“Masalah… berat, Pak?”

“Sangat, Vena… sangaaaaat…”, sahut Ricardo sambil menghela nafasnya lagi.

Rasa SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang