Wahidun

24 2 0
                                    

Pagi itu, di hari yang masih sangat gelap matahari belum lagi menampakan wujudnya, ramai orang berkumpul.

Di desa Cirehe berdiri kokoh sebuah bangunan kuno yang semua dinding nya masih terbuat dari bahan tradisional, anyaman bambu. Berdiri sudah lebih belasan tahun, setelah dua pasang suami istri pengajar ilmu Agama membangun bangunan yang mereka sebut pondok itu masih sangat terjaga dan terawat keasrian serta kenyamanannya.

Pondok Assyaddah, menjurus kepada pondok pesantren Abi Sholeh dan Ummi Sayidah mengajarkan ilmu-ilmu Agama dan moral kehidupan bagi mereka yang tinggal di pondok Assyaddah itu.

Para penghuni pondok itu terdiri dari kalangan remaja hingga anak-anak usia dini yang orang tua mereka titipkan pada Abi Sholeh dan Ummi Sayidah.

Kebanyakan dari mereka adalah anak yatim piatu, dan putus sekolah karena ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan, sehingga mereka dititipkan di pondok Assyaddah itu.

Abi Sholeh dan Ummi Sayidah sangat senang menerima mereka, bahkan keduanya tidak mengganggap mereka itu anak didik mereka, melainkan sebagai anak kandung sendiri karena putri semata wayang Abi Sholeh dan Ummi Sayidah kini sedang kuliah di luar kota.

Pondok Assyaddah berdiri ditengah tanah lapang, tepatnya berada di kawasan yang dikelilingi hutan. Jauh dari pemukiman warga, sehingga membuat wilayah dan suasana pondok sepi dan mencekam, apalagi dikala malam tiba, membuat anak-anak pondok ketakutan untuk bangun sholat malam.

Hari ini, mereka semua berkumpul di pelataran pondok, tepatnya di pondok yang ditempati Abi dan Ummi mereka.

Raut sedih bercampur haru tergambar jelas di wajah mereka, terutama Ummi Sayidah, yang terlihat berat melepas kepergian suami tercinta Abi Sholeh yang siap berangkat untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh kepala desa Cirehe.

Walau berat, tapi Ummi Sayidah tidak bisa menahan kepergian suami tercinta.

" Kalian jaga diri baik-baik ya? Abi titip Ummi, jangan nakal ingat! Harus nurut apa kata Ummi. Janji? " ucap Abi Sholeh sembari membelai lembut wajah anak-anak yang sudah ia anggap anak sendiri itu bergantian.

Nissa, Wafa, Dea ketiga gadis yang paling tertua diantara anak didik Abi Sholeh dan Ummi Sayidah ini tak kuasa menahan air mata nya kala Abi Sholeh berkata demikian.

Sementara, Faiz, Palil dan Fahri tiga remaja yang juga anak didik Abi Sholeh dan Ummi Sayidah berusaha menutup kesedihan mereka dengan mengukir senyum agar terlihat tenang.

Mereka yang masih sangat dini, Nizam, Bilal, Habibi, Zaki, Apong, Muya, ILmi, Fadhla, Anggi dan Khansa menangis dalam dekapan Abi Sholeh sosok yang mereka juga menganggap Abi Sholeh adalah Figure Ayah di pondok itu.

" Sudah dong jangan menangis, Abi kan jadi sedih. Masa kalian tega buat Abi sedih. " ujar Abi Sholeh sembari menirukan gaya bicara anak kecil.

" Maaf Abi, kita tidak bermaksud buat Abi sedih, kita cuma sedih bakal jauh dari Abi. " kata Muya

" Abi kenapa si harus ada tugasnya jauh sekali dari desa kita? " tanya Nizam

" Kan itu semua atas perintah bapak kepala desa, Abi tidak bisa dan tidak boleh menolak, lagi pula ini juga kan Abi lakukan semata karena cinta Abi pada Allah. "

" Muya, Nizam. Sudah, ini sudah hampir terang, nanti Abi telat jalan raya akan sangat padat sekali kalau matahari mulai muncul. Kasian Abi nya, sini yuk sama Teteh. " seru Wafa.

" Abi, yaudah atuh buruan berangkat. Nanti pak kades nunggu. " ujar Ummi Sayidah

" Yasudah kalau begitu Abi berangkat ya, kalian jaga diri baik-baik semua, Faiz, Palil, Fahri, kalian laki-laki tertua di pondok ini, tolong jaga Ummi dan yang lainnya ya, Abi titip mereka. "

" Insha Allah Abi, kami akan menjaga amanat dari Abi. Abi hati-hati ya di jalan. " ucap Faiz seraya mencium punggung tangan Abi Sholeh, diikuti mereka semua.

" Kalau begitu, Abi pamit ya. Assalamualaikum. "

Setelah berpamitan, anak-anak yang masih sedih melihat kepergian Abi Sholeh yang semakin menghilang dari pandangan, Ummi Sayidah berupaya menenangkan mereka, membawa mereka kedalam pelukan hangat.

" Kita sayang Abi Ummi. " ujar Muya, Ummi Sayidah tersenyum haru mendengarnya.

Leuweung SangetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang