Sab'atun

2 1 0
                                    

Sinar mentari tiba, menerobos bebas masuk kedalam sebuah ruangan melalui jendela yang sudah terbuka lebar membangunkan seonggok tubuh yang siap memulai harinya dengan semangat.

Pemuda itu beranjak dari ranjang kasurnya lantas pergi mandi untuk membersihkan diri.

Setelah dirasa sudah rapi penampilannya, pemuda itu lekas keluar dari kamarnya lalu menuju meja makan untuk menemui Ibu nya yang sedang menyiapkan sarapan.

" Pagi Bu. " sapanya.

" Pagi, kamu jadi kan berangkat hari ini? " pemuda itu menatap Ibu nya sebentar.

" Jadi. "

Sang Ibu juga menatap putranya dengan tatapan penuh arti. " Yasudah, kamu sarapan dulu sebelum berangkat ke terminal. " ujar Ibu pemuda itu sembari masih menata masakan yang siap dihidangkan.

***

" Kamu jaga diri baik-baik ya Nak, laksanakan tugas kamu dengan baik. " pesan sang Ibu pada anaknya yang siap berangkat menunggu kereta selanjutnya.

" Iya Bu. Ibu jangan sedih dong, nanti aku kepikiran buat tinggalin Ibu. "

" Mana ada Ibu sedih, " elak Ibu itu. Padahal hatinya teriris sekali melepas kepergian putra semata wayangnya untuk mengemban tugas jauh darinya.

Kereta selanjutnya sudah tiba. Ini saatnya dua sejoli itu harus terpisah jarak. Pemuda itu memeluk sang Ibu sangat erat.

Batin seorang Ibu dan Anak tidak bisa dibohongi. Sekuat apapun, setegar apapun mereka tetap tak ingin berpisah, kalau bukan karena pemuda itu mendapat amanat dari orang yang berjasa bagi hidupnya setelah sang Ibu.

" Rayan pamit ya Bu. " ucap pemuda bernama Rayan itu tak lupa ia mencium punggung tangan sang Ibu.

" Hati-hati Nak. Laksanakan tugasmu dengan baik. " pemuda bernama Rayan itu mengangguk pasti.

" Assalamualaikum. "

" Wa'alaikum salam. "

Keduanya terus bertatapan, hingga tatapan mereka terputus karena sang anak sudah berada didalam kereta.

*****

Setelah melaksanakan sholat Dhuha. Santri cilik itu harus melakukan tugasnya, yakni menghafal hafalan mereka yang sudah hampir satu Minggu belum juga ada yang setor baik pada Ummi Sayidah maupun senior mereka.

Wafa sudah siap membimbing para gadis santri untuk menghafal ditemani Nisa.

Sementara anak laki-laki dibimbing oleh Faiz, Fahri dan Palil.

Ummi Sayidah tengah sibuk mengurus Dea yang jatuh sakit pasca insiden semalam. Entah karena kecapekan, atau karena sawan melihat sosok yang ia sebut setan itu.

" Assalamualaikum. " salam Ummi saat masuk kedalam kamar Dea.

" Wa'alaikum salam. " jawabnya dengan suara berat.

" Dey, kamu sarapan ya, abis itu minum obat. " Dea hanya membalas senyuman.

" Ummi, biar Dea saja. " pinta Dea saat Ummi Sayidah hendak menyuapi nya bubur.

" Biar Ummi saja kalo memang kamu tidak bisa Dey. "

" Tidak Ummi, aku cuma tidak enak badan, masa tidak bisa makan sendiri. Lagi pula aku tidak mau merepotkan Ummi, dengan aku sakit aja udah buat Ummi repot. "

" Sudah, kamu jangan bicara seperti itu, Ummi tidak merasa direpotkan oleh kamu, maupun santri lainnya. Karena kalian kan tau, Ummi sama Abi itu udah anggap kalian seperti anak Ummi sama Abi. " tutur Ummi.

" Iya Ummi, makasih udah mau rawat kita, tapi bener Ummi Dea bisa kok sendiri, masa sudah besar disuapi, malu sama anak-anak. " Ummi Sayidah tak kuasa menahan tawanya.

" Ya sudah, kalo begitu Ummi mau cek anak-anak yang lagi menghafal dulu ya. Kamu ceper sembuh. " Dea mengangguk pelan.

" Assalamualaikum. "

" Wa'alaikum salam. "

Selepas kepergian Ummi Sayidah, Dea pun menyantap bubur buatan Ummi Sayidah dengan khidmat.

Leuweung SangetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang