Cahaya matahari menyingsing dari ufuk timur, dan suara ayam yang berkokok sahut menyahut tanpa henti bagaikan alarm alami membangunkan setiap orang dari panjangnya malam yang hening, penanda awal dimulainya sebuah hari. Begitulah pula yang dirasakan oleh Fajar, seorang pria berusia 20-an yang baru saja terbangun. Fajar, dengan perlahan membuka matanya yang berwarna coklat kehitaman, sosok yang tinggi, perawakan sedang dengan brewok tipis yang mengenakan singlet hitam itu bangun terduduk, sembari mengangkat dan mengaitkan jari jemarinya, meregangkan seluruh tangannya dan menguap mengisyaratkan ia masih ingin menikmati beberapa waktu untuk terlelap, namun ia tetap memaksakan dirinya terbangun, kakinya meraba-raba lantai kamarnya yang masih berupa tanah dan pasir mencari alas kakinya. Setelah meraih alas kakinya, ia pun beranjak dari ranjangnya yang masih terbuat dari anyaman bambu beralaskan kain tipis.
Fajar mengangkat lengannya dan mengendusnya,
"Ugh...." gumamnya mengeluh,
Ketiaknya yang ditumbuhi bulu-bulu yang lumayan lebat basah karena keringat, mengalir dan meresap ke singlet hitamnya, bagian atas singletnya berwarna lebih gelap karena keringatnya.
"Sumpek dan panas sekali semalam" keluhnya lagi, sembari menggaruk rambut di kepalanya dan melangkah keluar kamarnya yang hanya memiliki kain bercorak batik sebagai penutup antar ruangan.
"Bu, selamat pagi" salam Fajar kepada ibunya,
Ibunya yang berumur 40-an itu tampak memakai daster biru kembang dan diikat rambutnya, walau ibunya yang sudah memiliki usia paruh baya tapi ia masih tampak cantik dan lincah mondar mandir di dapur mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus dari memasak sampai mencuci dengan cepat.
"Pagi bang, mandi dulu sana sebelum sarapan kamu keringetan gitu loh" Ujar ibunya sembari menghidangkan makanan pagi
"Iya bu, semalam hawanya sumpek sekali, abang bajunya sampe basah gini"
"Ya sudah kamu lepas saja di keranjang nanti ibu cucikan, semoga sudah kering sebelum kamu berangkat"
"Baik bu"
"Sekalian kamu panggilkan bapak dan adikmu di depan makanan sudah mau siap"
Fajar mengangguk, ia pergi ke halaman depan.
Fajar melihat bapak dan adiknya yang sedang sibuk menyirami tanaman, ia pun terbesit sebuah ide nakal, dia diam-diam mengendap di belakang adiknya dan secara tiba-tiba mendekap adiknya dari belakang.
"HAYOOO!!"
"ABANG! LEPASIN! BAU KERINGAT TAU!! AKU UDAH MANDI!!"
Bima memberontak berusaha melepaskan diri dari abangnya yang memeluk erat dirinya, walau tidak sebesar Fajar, Bima memiliki perawakan yang cukup tinggi dan besar walau usia mereka terpaut 3 tahun, walau belum ada brewok dan kumis seperti abangnya, Bima sudah tampak seperti pria dewasa, mungkin karena genetik dan juga kegiatan mereka di sawah setiap hari sehingga tubuh mereka atletis secara alami.
"Sudah sudah, jangan kau jahili adekmu itu" ucap seorang pria berusia 50-an yang berpeluh keringat dan hanya mengenakan celana pendek,
Perawakan ayahnya tinggi besar seperti anak-anaknya, hanya saja perutnya sudah sedikit membuncit karena faktor usia, sejumlah rambut putih pun tampak di kepalanya menegaskan usianya, dadanya ditumbuhi rambut lumayan lebat yang basah karena keringatnya. Walau sudah berumur, ia masih tampak tegap dan kuat karena tubuhnya sudah terlatih sebagai petani bertahun-tahun.
Fajar melepaskan adiknya sambil tertawa riang melihat adiknya menciumi badannya yang menjadi basah dan bau karena keringatnya
"Pak, dek, sarapan sudah siap, dipanggil ibu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pabrik Laki-Laki (On going series)
General FictionMenceritakan Fajar, seorang pemuda lugu dari kampung yang pergi ke Ibukota untuk menafkahi keluarganya di kampung sebagai kuli sekaligus mencari tempat dimana ia seharusnya berada. Pemuda lugu yang tidak pernah mengenal kerasnya kota Jakarta secara...