11. Siapa Helgaza?

24 3 35
                                    

HAPPY READING

Gadis dengan rambut panjang pirang itu meregangkan otot-ototnya setelah dirinya selesai mengerjakan tugas sekolahnya yang menumpuk.

“Akhirnya kelar juga!”

“Gila sih! Tugasnya gak nanggung-nanggung!”

“Sekarang aja tugasnya udah banyak! Apalagi kalau kelas 12 nanti! Ck, tambah pusing yang ada!” Moza terus memberengut kesal.

Setelah membereskan buku-bukunya, gadis itu berniat turun ke lantai bawah. Lampu-lampu yang sudah mati membuatnya berfikir jika Bi Ratih sudah istirahat.

Kedua orangtua nya? Ah, tentu saja mereka tidak akan pulang. Keduanya memang benar-benar gila kerja hingga sampai melantarkan anaknya sendiri.

Moza mengambil air minum juga sedikit snack untuk mengisi perutnya yang sedari tadi minta diisi. Gadis itu duduk di meja makan dan menopang dagunya.

“Gue slalu iri sama mereka yang dapat kasih sayang orang tuanya.” ujarnya tersenyum pedih. Benar! Selama dirinya hidup 17 ini, Moza tidak pernah merasakan kasih sayang Papah dan Mamahnya. Mereka hanya memberinya kemewahan tanpa tau isi hati dari seorang anak.

“Gue lebih milih hidup gelandangan tapi dapat kasih sayang. Dari pada hidup dengan kemewahan malah seperti neraka.”

Tersadar, Moza menghapus air yang mengalir di pipinya. Ah, kenapa dirinya jadi cengeng seperti ini. Tidak ingin memikirkan nya lagi, gadis itu memilih memakan snack didepannya.

“Moza.”

Tubuh gadis itu menegang kala mendengar suara familiar. Juga bersamaan dengan lampu yang menyala.

Dengan perlahan, Moza menoleh kearah samping mendapati siluet laki-laki jangkung berdiri tidak jauh darinya menatap dirinya dengan raut sulit.

“Helgaza?”

...

“Main game mulu! Belajar woy! Belajar!”

Alfan yang memang sedari tadi fokus pada game online—nya seketika mendegus. Cowok itu lalu memilih menyimpan ponselnya dan melirik Rendra disampingnya sinis.

“Ganggu lo!”

“Bukan ganggu itu namanya. Gue sebagai teman baik dan tidak sombong nasihatin lo.”

“Halah, bahasanya.”

Mencibir, Rendra bersandar pada bangkunya dan menatap sekitar kelas yang sepi. “Jam segini tumben banget kelas masih kosong.”

Benar! Dikelas hanya ada mereka berdua dan siswi lain yang baru datang.

“Lo kali yang berangkatnya kepagian bodoh!”

Rendra berdecak, tidak menyetujui ucapan Alfan. “Bener kok! Lagian 10 menit lagi bel.”

“Bolos berjamaah kali.”

“Sembarangan lo kalau ngomong! Alan? Nah, iya. Kembaran lo mana? Dia belum datang kan?”

“Udahlah. Sebelum lo malah. Dia ada di ruang Osis.”

“Masa?”

Alfan menatap temannya. “Gak percaya?”

KITA BERBEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang