17. Pedulinya Alfan

19 1 0
                                    

Selamat menikmati hari rabunya kawann😇

HAPPY READING

“Sial!”

Alfan mengumpat begitu gerbang sekolah sudah tertutup rapat. Sedari tadi cowok itu juga tidak berhenti meng-klakson motornya berusaha mengambil alih atensi Pak Budi—satpam sekolah.

“PAK BUKA DONG!!!”

Pak Budi yang sedang asik minum kopi di dalam pos tersedak dan buru-buru lari ke gerbang.

“Ah, den Alfan. Telat toh kamu?”

“Pak, bukain dong. Pliss bantuin saya.” ucapnya melas.

“Eits.. Eits.. Ini kan sudah peraturan sekolah atuh den. Masa Bapak langgar. Lagian kamu juga yang salah. Kenapa bisa telat, huh?” tanya Pak Budi memincing.

“Bangun kesiangan, Pak.” mengingatnya, cowok itu lantas mendegus. Memang benar dirinya kesiangan. Sang Mamih yang biasanya membangunkan, entah mengapa pagi ini tidak.

Dan sialnya lagi, ban motornya bocor yang mengharuskan dirinya pergi ke bengkel terdekat dahulu.

“Pak, ayo dong. Bantuin saya sekali aja.”

Pak Budi mendesah pelan. Sebanarnya pria yang sudah berumur itu terlihat iba melihat raut melas murid di sebrangnya ini. Namun dia hanya melaksanakan tugasnya sebagai satpam. Jadi tidak salahkan?

“Tapi den—”

“Buka aja.”

Suara bariton terdengar datar terdengar. Alan datang dengan wibawanya dengan tatapan seperti biasa. Datar.

“Pak Budi, tolong buka ya. Dia biar saya yang urus.”

“Ah, baik atuh den Alan.” Pak Budi segera menuruti perintah Alan. Ketua Osis itu nampak berkharisma dengan balutan jas Osisnya.

“Terimakasih Pak Budi.” ucap Alfan senang setelah berhasil masuk.

“Jangan terima kasih sama saya atuh den. Sama ketua Osisnya atuh.”

Alan tersenyum canggung pada Pak Budi. “Bapak bisa menikmati kopinya kembali. Maaf mengganggu waktunya.” setelahnya cowok itu menarik Alfan menuju ketengah-tengah lapangan dengan menjewernya.

“BANG, SAKIT BEGO!!!”

“Gak usah ngumpat.”

“Shit!”

Alan melepaskan tangannya dari telinga adiknya itu. “Lo telat. Dan sebagai hukumannya lari 10 kali dilapangan.”

“What?”

Berdecak dan merotasi matanya malas, dia kembali berujar. “Gak usah ngeluh. Udah konsekuensi lo.”

“Ini juga salah lo Bang. Kenapa gak bangunin gue?”

“Lo udah gede. Ngapain gue bangunin lo.” katanya cuek. “Cepat jalanin hukumannya sebelum nantinya gue tambahin.”

“Bang.” melas Alfan.

“Gue hitung sampai tiga.”

“Bang, masa lo gak kasihan gitu sama adik lo yang tampan in—”

“Satu, dua—”

“Fine.. Fine.. Gue lakuin. Ck, males banget deh.” gerutu Alfan segera melaksanakan hukumannya.

“Bagus. Gue pantau dari sini.” Alan menggeleng heran. Kelakuan adiknya itu sangat berbeda dengan dirinya. Namun walau begitu, dia terlihat menyayanginya walau dengan cara yang berbeda.

KITA BERBEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang