34. Titik terendah

117 13 0
                                    

Nabila menatap barisan snack berbungkus merah di hadapanya. Nabila menelan ludah, dia ingin makan snack pedas itu tapi mengingat Bubble Nabila mengurungkan niatnya. Dari seberang terdapat tiga remaja berpakaian sekolah yang menyita perhatian Nabila. Sejenak Nabila termenung mengingat Yesa dan Tirsa yang entah bagimana kabarnya. Gadis itu tersenyum simpul mengelus perutnya yang baru saja memasuki bulan ke delapan.

"Lo mau makan ini?" tanya Hamzah menunjuk snack itu.

Nabila menoleh lalu mengeleng cepat. Hamzah mengangguk lalu menarik tangan Nabila sambil mendorong keranjang belanjaanya. "Gimana hasil ujian kelulusanya?" tanya Nabila.

Yah, sekarang Hamzah sedang menunggu hasil dari ujian kelulusan sekolah. Dan bersiap untuk mendaftar universitas yang sudah dia target.

"Yah, gitu, hasilnya keluar senin entar," ucap Hamzah.

"Bil, lo gak mau minta apapun gitu sama gue?" tanya Hamzah.

Nabila mengkerutkan dahinya bingung.

"Semenjak lo tau Atm gue diblok, lo jarang minta apapun sama gue," ucap Hamzah. Jujur, dulu saat Nabila melihat Hamzah akan keluar pasti gadis itu menitip banyak hal.

Nabila memukul lengan Hamzah. "Gara-gara gue lo jual mobil," ucapnya marah.

"Gue seneng tau udah jual mobil, sekarang gue punya Roki," ucap Hamzah mengingat motor Legend merah putihnya di rumah. Nabila terkekeh lalu ikut mengantri dikasir.

"Kalau lo mau sesuatu, bilang sama gue," ucap Hamzah dan Nabila mengangguk. Hamzah mendekat lalu membisikan sesuatu. "Cafe udah lancar tau," ucapnya tersenyum.

Nabila membuka matanya lebar-lebar. "Serius?" tanyanya. Hamzah mengangguk. Dia sudah mempekerjakan seluru karyawan yang dia pecat dulu. Walaupun memang masih tidak bisa menyewa apartemenya lagi tapi cafenya sudah cukup berkembang.

Nabila tersenyum. Dia membayar belanjaanya lalu membiarkan Hamzah membawahanya keluar minimarket.

Hamzah menghentikan satu taksi.

"Kita gak naik angkot?" tanya Nabila heran.

"Kasian sama lo, kalau naik angkot nanti kita desak-desakan, kalau lo jadi gepeng gimana?" tutur Hamzah membuka pintu membiarkan Nabila masuk lebih dulu.

"Sekarang lo berani ngatain gue, yah?" tanya Nabila membuat Hamzah terkekeh kecil.

Nabila ikut saja setelah itu mereka melaju menuju rumah.
Sesekali mereka tertawa sambil menunjuk jalanan yang ramai. Hanya sekedar duduk berdua dan berjuang bersama. Nabila tau, dan dia percaya bahwa kebahagiaan itu nyatanya dibentuk. Bukan ditunggu.

***

"Ini kaki siapa, hayo?" colek Hamzah kearah benjolan kecil di perut Nabila.

Nabila berdecak sebal. "Sana berangkat kesekolah, entar lo telat," omelnya sambil menutup mata.

Hamzah mengeleng dia masih sibuk bermain dengan Bubble yang bergerak aktif di perut Nabila. "Ini kaki Bubble, yah?" tanya Hamzah mengecup benjolan itu.

"Itu siku kali," tebak Nabila mendorong Hamzah menjauh. Nabila tidak suka paginya yang cerah diganggu seperti ini.

Hamzah mengerjab cepat. "Kok, bentukanya kayak kaki?"

"Mana gue tau, sana pergi," kesal Nabila melanjutkan tidurnya.

Hamzah bangkit memberikan kecupan selamat pagi lalu memasuki kamar mandi. Beberapa menit Hamzah keluar dengan seragam rapi. Dia menghampiri Nabila yang masih terlelap.

"Bubble Ayah pergi dulu, yah?" bisik Hamzah lalu mengecup dahi Nabila. Begitu pelan Hamzah melangkah dan menutup pintu agar tidak mengusik tidur Nabila.

Nabila's Secret Husband [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang