21. Tak Perlu Dibenci

87 15 0
                                    

Nabila menatap lemah pantulan wajahnya di cermin. Dia terlihat lesu dan pucat, bawah matanya hitam dan tampak tidak memiliki energi untuk melakukan apapun.

Gadis itu menghembuskan nafas pelan. Ini hari pertama ujian, Nabila harus ke sekolah karna itu, andai saja tidak dia akan memilih berbaring sepanjang hari di dalam kamarnya.

Nabila membuka pintu kamar dan berjalan keluar namun suara dari dapur membuat langkah Nabila berhenti. Gadis itu mendekati dapur. "Hamzah?" panggil Nabila.

Nabila diam menatap seorang wanita berpakaian sederhana sedang menatah makanan di meja makan.

Siapa dia? Batin Nabila.

"Non, makan dulu baru ke sekolah," ucapnya dengan senyum yang membuat Nabila juga ikut tersenyum canggung.

Hari memang masih cukup pagi. Dan perut Nabila juga harus diisi untuk kelancaran ujianya. Walaupun sebenarnya hari ini Nabila tak memiliki persiapan apapun. Itu karna pikiranya masih terlampau kacau bahkan untuk tidur di malam hari Nabila merasa sulit. Kamar yang dia tempati trlah Nabila modif ulang agar kenangan buruk di dalamnya juga bisa hilang.

"Ibu siapa?" tanya Nabila cepat.

"Saya Bi Asri. Saya yang akan bantu Non mulai sekarang," ucapnya mempersilahkan Nabila duduk.

Nabila mulai duduk dengan canggung. Dia menatap wanita itu yang kini beres-beres dapur. "Siapa yang nyuruh Bi?" tanya Nabila kepo.

Bi Asri diam. Ia berbalik lalu tersenyum. "Non makan aja dulu, Bibi mau nyunci baju sebentar," tuturnya dan pergi berlalu.

Bi Asri sudah sepakat dengan Hamzah bahwa ia tidak akan menyebut nama dan semua hal yang berhubungan dengan pria muda yang memberinya pekerjaan ini dengan gaji tinggi.

Nabila meminum susunya kandas.

"Non udah selesai?" tanya Bi Asri yang baru saja selesai menjemur pakaian.

Nabila mengangguk. Ia bangkit lalu pamit pergi.

"Bentar Non," teriak Bi Asri ingat dengan pesan Hamzah sebelumnya.

"Ini," ujarnya menyerahkan sebotol vitamin ke arah Nabila.
"Non belajar yang giat, jangan sampai sakit."

Nabila tersenyum lalu pamit dan pergi meninggalkan apartemen. Nabila diam menatap lurus jalanan dihadapanya. Karna Hamzah tak berada di sini sekarang, seperti yang telah lalu Nabila berdiri diam menunggu apaoun yang lewat dan bisa ia tumpangi untuk ke sekolah. Tapi tiba-tiba saja sebuah mobil hitam berhenti di hadapan Nabila.

Pria itu menurunkan jendela mobil. "Dengan Mbak Nabila?" tanyanya dan Nabila mengangguk. Pria itu keluar lalu membukakan pintu untuk Nabila, "Silahkan masuk Mbak. saya yang akan antar jemput Mbak Nabila mulai sekarang."

Nabila diam sejenak lalu masuk walaupun agak ragu, ia hanya mengikuti semua intruksi. Apakah dia sedang beruntung? Atau ada seseorang dibalik keberuntungan Nabila ini?

Dengan pelan Nabila memasuki kelas. Gadis itu memakai jaket tebal yang mengundang tatapan aneh satu kelasnya.

"NABILA!" teriak Yesa mengelegar memenuhi ruang kelas dengan air mata yang keluar begitu hebat. Yesa langsung mendekap hangat Nabila yang begitu pucat.

Nabila hanya membisikan kalimat penenang mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

"L-lo kenapa gak kasih tau gue? Gue juga bakal bantu lo tau!" kesal Yesa dengan tangisanya yang meledak di pagi hari.

Nabila tersenyum pelan. "Maaf, udah bikin lo khawatir."

Yesa mengeleng. ia menarik dirinya dari Nabila. "Lo cewe baik, gue yakin akan ada hal baik yang nunggu di depan. Lo jangan berfikir yang enggak-enggak. Gue sama Tirsa bakal dukung lo apapun yang terjadi," ungkap Yesa memegang jemari Nabila meyakinkan gadis itu bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Nabila's Secret Husband [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang