Tarashita berjalan menyusuri keraton untuk menemui simbah putrinya. Hampir seluruh abdi dalem mengenal Tara. Ia sudah terbiasa dengan lingkungan keraton, selain karena ia yang merupakan salah satu penari keraton, ia juga secara khusus diizinkan masuk keraton secara langsung oleh Ngarso Ndalem walaupun ia bukan Abdi Ndalem. Tara tak tahu apa alasannya, yang pasti Ngarso Ndalem dan GKR juga lumayan dekat dengannya.
Bahkan terkadang pada hari libur Tara dipanggil oleh Ngarso Ndalem pergi ke keraton hanya untuk mengajaknya berbincang sebentar. Apalagi saat hari kebesaran Keraton maka Tara akan ikut membantu dan persiapan upacara adat dan menjadi penari tunggal dalam pertunjukkan yang di suguhkan Keraton.
Semua keistimewaan itu diberikan tanpa alasan bagi Tara yang sebagai orang biasa. Namun bagi Ngarso Ndalem ada alasan tertentu mengapa ia diperlakukan seperti itu. Ada harapan besar yang terlihat ketika mereka berbincang.
Tara berjalan menuju persinggahan dan tempat istirahat Abdi Ndalem estri. Tak sengaja ia berpapasan dengan Ngarso Ndalem, dengan hormat dan menundukkan kepala sambil mengangkat kedua tangan dengan menangkup ke bagian kepala dan menyapa Ngarso Ndalem "Sugeng sonten Kanjeng" [Sore].
"Sugeng sonten, mau jemput Mbah Putri nduk?" dengan senyum tipis Ngarso Ndalem bertanya.
Pandangan Ngarso Ndalem pun tak lepas dari bagian kanan Tara. Dimana mata batinnya menangkap sesosok makhluk panjang bermahkota yang selalu setia menemani gadis didepan-nya itu sejak kecil. Bahkan terkadang ditambah Harimau Putih Madakaripura yang juga ikut mendampingi.
Beliau menarik napas panjang dengan samar. "Nggih kanjeng" jawab Tara.
"Ya sudah sana, hati-hati ya nduk" ucap Ngarso Ndalem dengan senyum tipis yang masih terpatri.
Sejujurnya Tara tidak pernah mengerti mengapa Ngarso Ndalem dan GKR selalu mengucapkan "hati-hati" di akhir obrolan mereka, tapi ya sudahlah mungkin itu bentuk perhatian pada gadis yang sudah dianggap seperti cucunya sendiri.
"Nggih kanjeng, nyuwun pamit" [Mohon] pamitnya yang diangguki ngarso ndalem, lalu melanjutkan perjalanan menuju tempat Mbah Putrinya.
-----
Sesampainya di depan sebuah rumah joglo milik simbahnya, ia memarkirkan motor disana, lalu duduk di teras rumah sambil membuka sepatunya. Ia beristirahat sembari menghirup udara panjang dengan mata memejam.
Entah mengapa setiap Tara memejam, ia merasa ada bulu yang menyentuhnya, namun tidak ada wujud pastinya yang malah membuatnya merinding. Terkadang juga beberapa orang memandangnya dengan sedikit bergidik tanpa alasan yang jelas.
Tiba-tiba dirinya dikagetkan dengan tepukan dari Simbahnya, hingga ia terjingkat dan seketika memegang dadanya. "Gusti mbah, Tara kaget banget" ucapnya sembari menoleh ke belakang.
Lastri hanya terkekeh pelan. "Sore-sore jangan ngelamun, nanti kesambet" ucap Lastri. Tara hanya bisa nyengir dengan omelan simbahnya.
"Mbah Kakung mana Mbah?" sejak Tara masuk ia tidak melihat keberadaan Atmoyo.
"Pergi nyari rambanan buat kebo" [pergi cari rumput untuk kerbau].
"Owalah. Mbah, Ngarso Ndalem kenapa ya selalu bilang hati-hati tiap akhir obrolan? Kan Tara juga ndak kemana-mana, kok selalu ngasih pesan kayak gitu ya Mbah?" pertanyaan itu sontak membuat Lastri mematung sesaat.
Belum waktunya Tara tahu semua ini. Jadi Lastri harus kembali mencari alasan yang membuat cucunya itu tidak bertanya mengenai sesuatu yang terjadi pada dirinya.
"Itu bentuk perhatian Ngarso Ndalem ke kamu nduk, beliau sudah menganggap kamu seperti cucunya sendiri, jadi yo memang seperti itulah Ngarso Ndalem, sudah-sudah kono ados ndisek keburu maghrib mengko" [sudah-sudah sana mandi dulu, nanti keburu maghrib] jawab Lastri membuat Tara hanya bisa menurut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatukrama Amerta
Historical FictionTakdir yang membawa sepasang belahan jiwa kembali bersatu setelah pertemuan ratusan tahun membawa Tarashita melewati perjalanan waktu yang sangat panjang. Pertemuannya dengan sang maharaja Majapahit sebagai pelipur kesedihan pasca perang bubat. Per...