2.1 ; apa ya

284 42 6
                                    

"Lo masih belum bisa lupain Juju ya?" Anna menoleh pada sumber suara. Itu Jeno, yang sedang berbicara padanya di kencan pertama mereka.

"Enggak kok, gapapa."

"Kanan bawah," ucap Jeno. Anna mengerutkan dahinya.

"Lo bohong, orang kalau bohong matanya akan mengarah ke kanan bawah. Gapapa kok kalau lo emang belom bisa lupain dia. Gue coba pelan-pelan ya?" Jeno meraih tangan Anna dan mengusapnya lembut. Gadis itu diam, memang sih Jeno baik tapi entahlah. Anna hanya belum bisa melupakan sosok pemuda bernama Julian itu.

"Ini bakal bikin lo sakit hati, Jen. Gimana kalau gue tetap gak bisa? Perasaan lo bakal sama?" Jeno mengangguk sambil menampilkan senyuman manisnya.

"Waktu, usaha, komitmen, tiga hal itu yang penting. Gue yakin kita bisa. Coba fokus ke gue dulu ya untuk nanti? Gue mau usaha supaya lo bisa ngerasa nyaman saat sama gue," ucap pemuda itu.

"Tapi—"

"Itu gak bakal sakitin gue kalau memang lo belom bisa lupain dia. Kita butuh waktu, gue gak paksa sama sekali kok. Gue bakal tunggu sampai lo udah siap dan udah lupain itu semua." Jeno masih tersenyum. Senyuman itu yang mampu membuat Anna merasa tidak tega. Ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Ia masih menyukai pemuda itu. Julian.

Iya tau, dia salah bila masih menaruh perasaan pada Julian karena sudah ada Jeno. Namun, perasaan seseorang tidak semudah itu untuk berubah kan? Semua butuh waktu. Anna cuman butuh itu untuk memperbaiki hubungannya dengan Jeno.

Di sisi lain, Julian masih berbaring di atas kasurnya sendiri dengan kain basah yang baru. Hari ini, Stela benar-benar menjaganya sepenuh hati. Pemuda itu tersenyum tipis, tetapi entahlah ada yang aneh dengannya. Ia suka cara Stela memperhatikannya, namun bukan Stela yang ia lihat. Melainkan Anna. Julian malah membayangkan bahwa Anna yang merawatnya sekarang.

Apa kabar gadis itu? Apakah dia sudah bahagia dengan Jeno? Atau bagaimana? Julian ingin tahu hal itu.

Namun, apa boleh buat. Anna sendiri tidak tahu bagaimana perasaan yang dia miliki untuknya. Begitu juga sebaliknya.

"Ju, bubur nih baru gue beli. Susah banget tau gak mau cari ini makanan." Julian terkekeh.

"Makasih, Stel. Oh, btw ... rambut lo lebih cocok pendek kayaknya," gumam Julian sambil mengusap rambut hitam milik Stela. Perempuan itu mengejapkan matanya.

"Maksud lo?"

"Boleh coba potong rambut pendek? Lo lebih cantik kayak begitu." Julian tersenyum, begitu juga dengan Stela. Stela salah tingkah walau tidak tahu bahwa bukan dirinya yang ada di bayangan Julian, tetapi Anna.

Mekanisme defensif, salah satu cara alamiah yang biasanya orang-orang lakukan untuk bertahan. Contohnya seperti Julian, perasaannya tidak tersampaikan sehingga ia melampiaskannya kepada Stela. Dia memproyeksikan Stela sebagai Anna, penggantinya. Perasaan yang sama untuk Anna ingin dia berikan kepada Stela—pengganti Anna—di bayangan Julian.

"Boleh begini sebentar?" Julian memeluknya.

"E-eh?" Stela gugup.

"Sebentar aja, gue nyaman kayak begini." Stela tersenyum tipis.

Sayangnya ia tidak tahu kalau Julian hanya membayangkan Anna yang sedang dia peluk. Bukan Stela.

***

Jeno berdecak kesal, baru saja dia selesai berkencan dengan Anna, sudah langsung ada masalah di kafe. Karyawan sana mengatakan bahwa ada uang yang hilang, dan nominalnya cukup banyak. "Gimana sih? Kok bisa nominalnya beda begitu? Semua karyawan udah ditanyain belom?!"

"Udah, Kak. Tapi memang gak ada di mereka semua."

"Iyalah, mana ada sih yang mau ngaku korup uang kantor?!" gertak Jeno.

"Mana yang lain? Anak magang segala macem juga suruh kumpulin sekarang!" Jeno menggebrak meja di depannya. Ah, ini masalah serius. Soalnya uang yang hilang itu nominalnya lumayan, sekitar 5 jutaan. Sungguh, bila dia tahu siapa pelakunya maka tidak akan dia lepas begitu saja.

"Periksa CCTV, lihat siapa karyawan terakhir—"

"Julian sama Stela. Kemarin mereka pulang terakhir sebelum saya."

"Iya, mereka juga gak ada di sini." Jeno diam.

"Ini kak video CCTV kemarin. Ada orang yang dateng di jam 2 subuh pakai jaket ini. Tapi wajahnya gak kelihatan," ucap salah satu anak magang di sana. Di detik selanjutnya Jeno terkejut, ia berdiri kaku di tempat ketika ia mengenali jaket itu. Postur tubuh dan jaketnya mirip dengan ...

Julian.

"Coba back," ucap Jeno yang tak percaya.

"Ini, Kak." Namun, sialnya semua bukti mengarah ke Julian.

Jeno masih ragu, ia tidak bisa langsung menuduh Julian sebagai tersangka. "Gak mungkin dia."

"Mungkin aja bang, lo tau kan pengeluaran Julian harus lebih banyak? Soalnya ada anak, dan dia tinggal sendirian juga. Pasti make sense dong kalau dia butuh duit lebih?" ketus salah satu karyawan di sana. Jeno terdiam, ucapan orang itu memang masuk akal.

Tapi, Julian bisa langsung bilang kalau memang butuh uang. Dan tidak akan melakukan hal sampai sejauh ini, bukan? Lagipula masih ada Kevin yang senantiasa mau membantu pemuda itu kapanpun. Jeno tak banyak omong lagi setelah itu, ia membubarkan orang-orangnya dan langsung melenggang pergi dari sana ke tempat Julian.

Mobil yang ia kendarai melaju cepat membelah jalanan kota, Jeno takut. Ia takut kalau akhirnya dia dibohongi oleh temannya sendiri, tapi dia akan sangat bersyukur kalau Julian bukan tersangkanya.

Setelah sampai di kediaman Julian, pemuda itu segera memencet bel dan masuk ke dalam setelah pintu dibuka oleh Stela.

"Eh, Kak Jen?"

"Juju." Jeno langsung ke Julian.

"Oh, bang Jen. Kenapa bang?" Julian tersenyum kecil.

"Ada satu hal yang perlu gue lakuin di sini, apa lo keberatan kalau gue ... geledah sebentar rumah lo?" Suasana di sana tiba-tiba langsung hening dan mencekam.

"Hah? Sekarang banget?"

"Iya, ini penting." Julian mengerutkan dahinya.

"Dan ... gue harap lo gak ngelakuin hal itu, Ju."

TBC

Halooo!! Apa kabar kalian semua? Semoga sehat selalu ygy

Gimana nih kesan kalian di chapter ini? Kesel sama Juju ga?

Udah ah, babaiii

Papa | Park Jisung (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang