Nikah yuk!

74 10 0
                                    


Nie Mingjue mencibir sebelum meninggalkan kantor Lan Xichen beriringan dengan Meng Yao. Saat jalan berdua, baru Nie Mingjue menyadari betapa kecilnya Meng Yao itu. Hanya setinggi dadanya dong. Beda sesenti dua senti dengan Huaisang lah.

Cocok banget dong dengan selera Nie Mingjue. Yang memang suka dengan tipe mungil macam Meng Yao. Gemes.

Kantin terlihat sepi. Hanya ada dua orang  berseragam sekuriti yang sedang menyantap makanan dengan tampang mengantuk. Tapi, dari kesibukan kru yang mengelap meja dan menyapu lantai, Nie Mingjue tahu kalau tadi lumayan banyak karyawan yang mampir sarapan.

Meng Yao menyapa dua orang yang sedang sarapan itu, dan dibalas dengan senyum lelah. Nie Mingjue menduga mereka sekuriti shift malam yang sarapan dulu sebelum pulang.

"Tuan Nie ingin makan apa?" tanya Meng Yao, "biar saya pesankan".

"Kok tuan Nie lagi sih? Sudah dibilang panggil saja gege atau dage," ujar Nie Mingjue.

"Saya pikir itu tidak sopan," kata Meng Yao.

"Udahlah. Nyantai aja. Aku enggak sekaku pak tua Qiren itu kok. Panggil dage coba. Biar lebih akrab. Dan jangan gunakan kalimat formal. Aku geli," Nie Mingjue mendesak.

"Baik, dage," Meng Yao terpaksa setuju. Tuan Nie ini keras kepala ish. "Jadi, dage ingin pesan apa?"

"Apa saja. Yang penting makanan manusia bukan sapi," sahut Nie Mingjue seraya duduk di salah satu kursi. "Kamu pesan sekalian saja sana. Jangan ambil tumisan ramban. Nih, bayar pakai ini," Nie Mingjue mengulurkan kartu kreditnya. Masih yang kuning kok. Bukan yang hitam. Keluarga Nie memang cukup berada tapi tidak pernah masuk ke golongan crazy rich seperti keluarga Lan. -ramban: aneka jenis daun-daunan yang biasa untuk makan ternak. Istilah ini, di daerah sekitar saya, juga digunakan untuk sayur-mayur yang dipetik dari kebun sendiri-

"Baik, dage. Terimakasih," Meng Yao mengambil kartu kredit itu dan menuju salah satu booth. Meng Yao memutuskan untuk pesan paket lengkap nasi ayam yang sudah ada sayur dan buahnya. Minumnya teh hijau saja-lah.

"Silahkan," Meng Yao meletakkan tray di  depan Nie Mingjue.

"Terimakasih. Udah. Kamu duduk, makan cepat," kata Nie Mingjue.

"Ehm. Meng Yao asli Gusu?" Nie Mingjue mencoba berbasa-basi setelah beberapa saat terdiam.

"Bukan, dage. Saya dari Yunping," Meng Yao sampai berhenti makan demi bisa menjawab. Meski baru mengikuti Lan Xichen selama sebulan, Meng Yao sudah mengembangkan kebiasaan ala keluarga Lan, yakni tidak berbicara saat makan.

"Yunping yang ada kuil Guanyin-nya itu?" tanya Nie Mingjue. Kalau Nie Mingjue sih tidak peduli. Ngobrol ya sambil ngunyah. Makanya, Nie Mingjue paling tidak suka datang ke acara perjamuan resmi. Penuh aturan. Rasanya, Nie Mingjue sudah kenyang dengan peraturan sebelum makan.

"Benar," jawab Meng Yao singkat.

"Omong-omong, bisa keterima jadi sekretaris Xichen, ceritanya gimana itu? Bukannya kepo atau apa, cuma, Xichen itu kan sering ganti sekretaris. Jadi jarang ada open recruitment. Kalau tidak salah, posisi itu baru diiklankan dua kali. Kalau posisi yang lain sih setiap tahun ada. Ribet banget kan kalau setiap berapa bulan sekali harus seleksi sekretaris baru. Image Xichen juga bisa rusak. Bisa dikira bos problematik kan. Padahal, sekretarisnya yang bermasalah. Jadi setahuku, Xichen sering minta rekomendasi entah dari para manager atau HRD untuk posisi sekretarisnya," kata Nie Mingjue.

"Kalau soal rekomendasi saya kurang tahu ya dage. Tapi saya memang pernah mengirim surat lamaran iseng-iseng. Dan saya juga tidak punya kenalan orang dalam. Mungkin keberuntungan seumur hidup saya terpakai," ujar Meng Yao sedikit guyon. Meng Yao juga bingung. Wong surat lamarannya sudah dari 2 tahun lalu. Meng Yao sendiri sudah lupa karena tidak pernah ada panggilan interview. Eh, tahu-tahu dihubungi HRD disuruh datang ke kantor pusat Lan Grup untuk interview. Dan diterima. Seneng dong.

A-Yao, sang SekretarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang