Ibu Mertua

66 5 0
                                    

                    


Nie Mingjue memelankan laju kendaraan saat akan masuk Yunping. Wei Wuxian akan turun di sekitar batas kota. Mobil Lan Wangji sudah menunggu di tempat itu.

"Makasih ya bang jago. Oh iya. Yao ge. Hati-hati dan waspada ya," Wei Wuxian berbicara sambil memasang tampang serius.

"Kenapa? Ada hal buruk di Yunping?" tanya Meng Yao cemas.

"Bukan. Yunping aman kok. Cuman, Yao ge kan ntar cuman berdua dengan serigala birahi. Jauh-jauh deh. Takutnya diterkam," kata Wei Wuxian.

"Diam, setan!" seru Nie Mingjue tidak terima.

Wei Wuxian terbahak sebelum melambai dan pergi. Nie Mingjue gerundelan. Si kunyuk!

"Jangan didengerin. Wei Wuxian itu anaknya memang random," kata Nie Mingjue. Meng Yao sudah berganti duduk di bangku depan.

"Dage akrab ya dengan Wei Wuxian," komentar Meng Yao.

"Adikku satu circle dengan si monyong itu dari SMP. Beberapa kali nginep di rumah kami juga kalau liburan. Gantian nginep gitu. Udah kenal baik juga dengan orangtua masing-masing. Kerjaan geng mereka bikin rusuh terus kalau nginep". Maka dari mulut Nie Mingjue mengalir lancar segala kelaknatan Wei Wuxian saat nginep di Qinghe.

Meng Yao mendengarkan dengan tenang sembari sesekali tertawa. Perjalanan yang awalnya Meng Yao kira bakal rada canggung ternyata mencair karena ada bahan gibah. Tanpa terasa mereka hampir sampai di pusat kota.

"Sebelah mananya kuil nih," tanya Nie Mingjue saat lokasi kuil sudah dekat. Hotel tujuannya berada di jalan yang mereka lalui sekarang.

"Sedikit lebih jauh dage. Tapi saya turun disini saja tidak apa-apa. Nanti saya tinggal jalan sebentar. Tidak sampai 10 menit," jawab Meng Yao.

"Lah jangan dong. Kuantar sampai tempat. Siapa tahu bisa ketemu ibu mertua hehehe," Nie Mingjue nyengir.

Meng Yao hanya bisa ikut nyengir karena tidak tahu harus nenjawab apa. "Umm. Kalau dage memang tidak keberatan sih, tidak masalah. Untuk lokasi rumah tehnya, itu, perempatan depan terus belok kiri dage. Memang rada tersembunyi. Tapi kami tidak boleh masuk lewat pintu depan. Jadi harus memutar ke pintu belakang".

Nie Mingjue memutar mobilnya memasuki suatu jalan yang rindang. Kiri kanan jalan berpagar tembok lumayan tinggi yang Nie Mingjue yakini merupakan tembok halaman hunian model lama. Nie Mingjue bisa melihat beberapa pohon jujube mengintip di atas tembok.

"Oh, ini rumah tehnya ya," komentar Nie Mingjue saat mereka melewati suatu bangunan dua lantai berdesain tradisional. Sepertinya sejuk dan nyaman banget. Mama pasti betah kalau berkunjung ke tempat itu. Sambil melukis ataupun menyulam dan mendengarkan petikan guzheng. Serasa kembali ke jaman bahuela.

"Terus, pintu belakangnya lewat mana?" tanya Nie Mingjue.

"Itu dage. Rumah yang gentengnya di-cat keemasan itu belok kiri, terus ketemu perempatan pertama, belok kiri lagi. Pelan-pelan saja biar tidak terlewat," Meng Yao menjelaskan.

Nie Mingjue mengikuti arahan Meng Yao. Hingga sampai di suatu pagar tembok berpintu ganda warna merah emas dan berukirkan naga. Pintu itu setengah terbuka. Ada bocah laki-laki kurus kira-kira umur 10 atau 11 duduk di depan pintu.

"Terimakasih dage,"Meng Yao bersiap turun.

"Aku enggak disuruh mampir nih?" Nie Mingjue benar-benar ingin bertemu camer. Bukannya mau langsung memperkenalkan diri sebagai calon suami Meng Yao, cuman pengen kenalan dulu. Sebagai salah satu bentuk sopan santun. Masak ngantar anak orang enggak ketemu orangtuanya? Nie Mingjue kan bukan driver grab.

A-Yao, sang SekretarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang