Ke Yunping

57 6 1
                                    

                         


Nie Mingjue mengemas travel bag-nya. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, Nie Mingjue siap berangkat. Bukan pulang Qinghe seperti yang dia katakan pada Meng Yao tadi. Melainkan ke Yunping.

Eh? Tidak! Bukan mau mencari orangtua Meng Yao untuk melamar. Tapi memang karena tujuan selanjutnya adalah hotel di kota  Yunping. Nie Mingjue sudah ada janji dengan manager hotel itu nanti jam 1 siang. Sama seperti di Caiyi atau di Gusu, mencoba jadi distributor tetap untuk hotel tersebut.

Nie Mingjue baru keluar kamar saat bertemu dengan jurig Yiling yang sedang cengar-cengir gaje di ruang tamu. Sambil nggayem aneka kue kering dan minum susu almond. Kakinya nangkring di sofa pulak. Macam nongkrong di angkringan.

Nie Mingjue memutar mata melihat kelakuan nyonya Lan itu. Karena Xichen masih belum memiliki pendamping, maka status nyonya Lan saat ini disandang Wei Wuxian. Ibu Xichen sudah meninggal. Embah Qiren kan jom -ehm- memilih tidak menikah. Sedang bibi Yi, adik bungsu ayah Xichen, sekarang tinggal di luar negri, mengikuti suaminya yang seorang diplomat.

"Halo bang jago. Tumben rapi dan kelimis gitu. Kirain tadi sales panci kesasar," Wei Wuxian meledek Nie Mingjue.

"Berisik, bocah!" Nie Mingjue mendelik. Sudah nikah dan punya anak, tetap saja bocah ini ugal-ugalan. Pantas, kakek Qiren tensinya sering melonjak. Pasti gerah polo menghadapi titisan reog satu ini. -Gerah itu bahasa jawa krama untuk sakit. Polo itu bahasa kasar untuk otak. Jadi gerah polo itu bahasa plesetan untuk sakit kepala karena banyak pikiran-

"Bocah ini udah pinter bikin bocah, bang. Lha abang? Masih self service kan?" balas Wei Wuxian.

Nie Mingjue kicep. Sontoloyo! Mentang-mentang sudah laku, terus menghina kaum single happy.

"Mau ngapain? Xichen sudah pergi dari tadi," Nie Mingjue akhirnya pilih untuk bertanya karena memang tidak bisa membalas ledekan Wei Wuxian.

"Siapa yang mau ketemu kakak ipar sih? Hari ini jadwal kakak ipar kan jalan-jalan dengan A-Yuan," jawab Wei Wuxian.

"Lalu? Jangan bilang kalau ada titipan untuk Huaisang? Ogah! Kirim pakai Teki sono. Kamu kira aku kurir?" Nie Mingjue langsung nge-gas.

"Lah? Ngapain kirim barang untuk Huaisang? Kalau dia pengen sesuatu ya biar kesini. Sowan, menghadap kanjeng nyai ini," kata Wei Wuxian. -sowan: bahasa jawa krama untuk datang berkunjung. Tapi istilah ini khusus untuk yang usianya lebih muda atau untuk yang lebih rendah kedudukannya-

"Kalau tidak ada keperluan sama aku, ya sudah. Aku pergi. Masih banyak urusan," Nie Mingjue malas basa-basi dengan Wei Wuxian. Bukan apa-apa. Tapi nanti paling cuma bakal di-roasting habis-habisan.

"Lhooo? Enggak kangen aku bang?" tanya Wei Wuxian sambil pasang tampang melas.

Nie Mingjue menatap dingin. "Pulang sono. Mumpung anakmu lagi diurus Xichen. Puas-puasin kelon sampai pagi, sampai encok," ujar Nie Mingjue pedas.

"Iri bilang, bang Mingjones. Pengen? Nikah dong biar bisa kelonan juga. Enggak cuma nge-halu sambil ngelus-elus perkutut. Kasihan calon anaknya, dibuang di toilet terus," Wei Wuxian menyeringai.

Nie Mingjue melotot. Ni bocah yak! Sabar. Sabar. Orang sabar jodohnya si imut bernama Meng Yao. Huft. -coba kirim gula dan teh ke tempat nenek ini nak. Pasti tak muluskan jalanmu, huehehe-

Wei Wuxian terkekeh melihat Nie Mingjue meremas-remas tanganya seolah tidak sabar ingin adu tinju dengan Wei Wuxian. Bang Mingjue itu sama kayak aki Qiren yak. Kesabarannya setipis tisu.

"Katakan saja keperluan anda, wahai yang mulia nyonya Lan," kata Nie Mingjue sengak.

"Abang mau ke Yunping kan? Nebeng dong," kata Wei Wuxian.

A-Yao, sang SekretarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang