CHAPTER 11

82 7 0
                                    

Bila aku harus jujur, saran Zander untuk berjalan kaki menikmati suasana Desa Woodstock lebih tepat, daripada harus melihatnya melalui jendela mobil, mengikuti kemauan Zane. Banyak hal yang luput dari jepretan ponselku.

Luciana bahkan beberapa kali terdengar mengerang kesal karena tak bisa turun untuk berfoto-foto sepuasnya. Zane hanya berkali-kali bilang pemandangan di situ terlalu biasa. Ia berjanji akan mencarikan spot yang lebih bagus.

Bisa kukatakan, mataku dan mata Luciana menyiratkan pendapat yang sama soal sikap Zane saat bertukar pandang melalui spion tengah mobil. Sementara itu, Zander hanya duduk di kabin, di samping Luciana, memejamkan mata seakan tak peduli.

"Kita ke hotel saja dulu. Kalian pasti akan suka. Spa, main golf, atau menyantap hidangan enak khas berbagai negara, kalian tinggal pilih. Pemandangan di resor ski juga bagus, terutama di musim gugur atau semi. Namun, berfoto di sana terlalu biasa di musim ini.

"Aku akan mengajak kalian nanti ke butik. Kalian bisa memilih baju-baju bermerek semahal apa pun di sana dengan bebas. Jangan cemaskan soal uang. Kalian tamuku di sini."

"Oh, butik dan spa! Aku suka itu!" Luciana mulai mengembangkan senyuman kini, seolah sudah melupakan kekesalannya tadi. "Semua gratis, bukan?"

"Tentu! Pilih dan ambillah sesuka kalian." Zane tersenyum kepada Luciana melalui kaca spion tengah.

Mataku melirik ekspresi wajah Zander yang masih memejamkan mata. Aku tidak yakin dia benar-benar tertidur saat ini. Namun, ia sungguh terlihat seakan tengah pulas.

Apa ia tak bisa tidur semalam demi menunggu saat tepat agar dapat membangunkanku untuk menanti dan melihat matahari terbit di pinggir sungai?

Mukaku kembali memanas mengingat kejadian tadi pagi. Itu seketika membuat aku merasakan kembali sensasi itu yang kurasakan pertama kali dalam hidup.

Ingatan itu seketika membuat denyut di organ intiku. Aku memejamkan mata sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan gerakan cepat.

"Kau kenapa, Lea? Kau kepanasan? Mukamu terlihat memerah," tegur Zane kuatir.

Aku terperangah seketika. "Oh, tidak. Aku baik-baik saja. Mungkin benar, aku kepanasan."

Rasa membara itu ada di dalam tubuhku lebih tepatnya. Inikah rasanya horny seperti yang pernah dikatakan Luciana?

Mata Zander tiba-tiba membuka sebelah, terlihat di kaca spion tengah. Ia menatapku dan segera memperlihatkan garis samar yang terbentuk di salah satu sudut bibirnya.

Aku buru-buru membuang muka, pura-pura tak tahu. Entah dia sempat melihatku atau tidak, kupilih untuk mengabaikan lelaki itu.

"Bersabarlah, Para Gadis. Kita akan tiba sebentar lagi."

"Oh, lekaslah! Aku sungguh tak sabar!"

Sepertinya Luciana kini tampak begitu antusias, serasi dengan senyuman lebar Zane. Aku hanya berharap kami segera tiba agar bisa sedikit menjauh dari tatapan nakal intens Zander yang duduk di belakang kursi kakaknya itu.

***

Zane tertawa kecil saat Luciana tak segan langsung melemparkan tubuhnya ke kasur berukuran besar, begitu kami tiba di suite room yang disediakannya. Ia terlihat puas melihat reaksi Luciana.

Kepalanya meneleng ke arahku saat tak mendengar aku mengatakan sesuatu. "Lea, kau suka? Atau perlukah kita memilih kamar lainnya?"

"Tidak usah," tolakku buru-buru. "Ini sudah cukup."

"Baiklah, ini akan jadi kamarmu. Lulu, kamarmu bukan yang ini. Ayo, kutunjukkan kamarmu."

Tanpa memperhatikan ekspresi Luciana dan aku, Zane langsung berjalan keluar pintu. Sahabatku terlihat sangat kesal seketika itu.

"Mmm, Zane. Aku dan Lulu akan menginap bersama saja di sini. Ranjangnya sangat cukup buat kami berdua," ujarku, menghentikan langkahnya di dekat pintu.

Zane berbalik. "Oh, Lulu suka kamar ini? Tak apa kalau begitu, buat Lulu saja. Aku masih ada kamar lain untukmu, Lea."

Apa maksudnya? Ia bernada memaksa menurutku.

Zander yang hanya berdiri di ambang pintu suite room, bersandar menyamping di pinggirannya sambil menekuk satu kaki, dan melipat kedua tangan, terdengar tertawa kecil sambil menyeringai. "Selamat, Lulu. Ini jadi kamarmu."

"Oh, hell, yes. Pergilah, Lea. Aku tak masalah sendirian kali ini jika Zane mau kau menginap di kamar lain."

Aku menghela napas perlahan. "Baiklah."

Tanpa banyak protes, aku mengikuti Zane yang lebih dulu keluar kamar. Ia berlalu begitu saja melewati Zander.

Saat tiba giliranku, Zander malah segera memperbaiki posisi dan ikut melangkah bersama. Aku mengabaikannya, berusaha menyusul Zane yang melangkah cepat di lorong kamar-kamar hotel.

Ketika Zane berbelok cepat ke lorong lain, aku kehilangan jejaknya. Saat buru-buru hendak menyusul, Zander malah sigap menarik lenganku. Ketika kusadari kemudian, ia telah membawa kami memasuki pintu mengarah ke jalur tangga darurat.

Dalam hitungan detik, ia menutup dan mendaratkanku ke permukaan pintu. Tanpa memberi peringatan atau kata-kata apa pun, dia menyatukan bibir kami penuh gairah.

Aku berusaha menolak dengan meronta, mendorong, atau memalingkan wajah. Namun, usahaku gagal, tenaga lelaki itu jauh lebih kuat dariku.

Kurasakan sesuatu yang sedikit perih saat ia beralih mengisap ceruk leherku cukup lama. Aku sontak mengerang lirih.

Ia kembali mengunci mulutku dengan gerakan bibir sangat terampil dan lidah yang liar. Aku tersengal saat ia secepat kilat membalik tubuhku menghadap pintu.

Dengan cepat, jemarinya menyusup ke balik rok dan mengangkatnya. Tak seperti kejadian di sungai, ia tak merobek celana dalamku, tetapi hanya menurunkan hingga ke pangkal paha, lalu menarik pinggulku hingga condong ke belakang.

Tak sempat aku menyadari apa yang akan dia lakukan, sesuatu telah memasuki organ inti dengan cepat. Tubuhku seketika terentak kuat tanpa ampun, mengikuti gerakan profesionalnya, menciptakan desahan dan erangan yang lolos dari mulutku tanpa bisa kucegah.

Jemari Zander menyusup hingga ke bagian dada, meremas, dan memainkannya seakan kegiatan itu sudah dikuasai sampai begitu mahir. Bibir lelaki itu pun terus menyerang bagian leher, meninggalkan jejak-jejak membara serta pedih di sana.

Dalam beberapa menit Zander terus tanpa henti menggerakkan pinggulku untuk menghunjam ke dirinya tanpa ampun, ia berhasil membuat aku membuka mulut meloloskan erangan kepuasan lirih saat sensasi puncak telah tiba.

Dia memutar-mutarkan pinggul sejenak perlahan, mendorong kuat ke atas untuk terakhir sembari mendekat erat tubuhku dari belakang. Kudengar desahan penuh kepuasan darinya ketika kami sama-sama tersengal.

"Hadiah spesial untukmu, Kalea Jones. Karena, kau terlihat horny saat di mobil tadi," bisiknya terengah di telingaku.

Terdengar teriakan dari luar pintu. Itu suara Zane tengah memanggil-manggil namaku.

"Keluarlah. Aku akan menyusul nanti," ucapnya sambil membantu merapikan rambut, celana dalam, dan gaunku. "Atur napasmu."

Itu cukup untuk membuatku seperti seorang idiot. Aku menurutinya tanpa kata protes.

"Lea! Kau dari mana saja? Aku mencarimu tadi!" seru Zane saat berhasil menemukanku yang baru keluar dari pintu darurat.

Mata Zane sempat melirik curiga ke pintu tangga darurat. Aku segera mengalihkan perhatiannya dengan cepat.

"Aku ketinggalan langkah. Kau berjalan cepat sekali. Aku malah masuk ke pintu tangga darurat, bahkan sempat naik ke beberapa tingkat. Itu ...," aku menelan ludah dengan susah payah, "membuatku ... sangat lelah ...."

"Astaga, maafkan aku, Lea. Baiklah, ayo, aku antar ke kamarmu." Tanpa curiga lagi, dia mengiringiku menuju kamar yang ia sediakan.

*** 

WILD AND CRAZY (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang