CHAPTER 16

75 5 0
                                    

Kami baru saja tiba di rumah danau milik Simon ketika Zander mengajakku ke lantai atas untuk menunjukkan ruangan favoritnya. Luciana segera memberi aku tatapan penuh arti.

Jantungku berdegup kencang saat mengikuti tarikan tangan Zander menaiki tangga ke atas. Begitu tiba di sebuah ruang, ia segera menutup pintu dan menguncinya.

Dengan cepat dia mengangkat dan mendudukkanku di pinggir meja yang ada di situ. Napasku tercekat saat napas kami saling mengembus. Otak pun seakan berhenti bekerja.

Seakan tak memberi kesempatan untuk protes, ia merundukkan wajah, mengulum, dan melumat bibirku. Tangannya segera sibuk melakukan sesuatu.

Dia hampir tertawa geli saat melihat ke area celana. Tak peduli pada wajahku yang mungkin memerah karena memanas saat ini seraya sedikit tersengal mengatur napas.

"Empat lapis dalaman, huh?" Ia mengedipkan mata. "Aku sudah menebaknya. Aku suka tantangan ini, Little Pet."

Tanpa permisi, dia segera menarik lepas celana panjangku dan melemparkannya ke lantai begitu saja. Disertai senyuman sambil menggelengkan kepala, ia kembali melakukan hal sama pada slip shorts, lalu boyshorts.

Ia membuka kancing jinnya, menurunkan celana hingga sebatas bokong. Tanpa melepaskan lapisan terakhirku, dia sepertinya hanya menarik bagian sisi tengah ke samping, lalu dalam sekejap menyatukan diri denganku begitu mudah.

Kedua tangannya segera menggerakkan sambil memegangi erat pinggulku untuk beradu dengannya begitu cepat. Tubuhku seketika berguncang kuat. Aku mengerang, berusaha merangkul leher Zander dengan kedua lengan.

Ia memandangiku dengan mata penuh hasrat membara sambil mengecup dan kembali sesekali melumat bibir. Napasnya memburu.

Terdengar suara meja kayu yang berbunyi mengikuti gerakan liar kami. Napasku tersengal, beradu dengan dengus napasnya yang menderu.

Erangan dan rintihan tak henti keluar dari mulutku yang membuka. Desah napas saling beradu, diselingi dengan geraman pelan darinya.

Zander mengecupi dan mencecap kembali di sepanjang leher. Ia kemudian menarik blusku ke atas tanpa menghentikan gerakan beradu dari pinggul kami. Aku hanya bisa menengadah, meloloskan erangan dari mulut saat dia bermain, menyapukan bibir serta lidah yang membara dengan liar di sana.

Ia makin mempercepat gerakan mengentaknya. Aku hampir tak mampu mengendalikan jeritan, hanya bisa menggigit bibir sambil memejamkan mata saat menikmati sensasi terhebat di sepanjang hidupku.

Kuremas rambutnya sembari membuka mata, mulai membalas serangan bibirnya. Kami saling mengulum dan melumat, bahkan kadang saling menggigit kecil. Tak peduli peluh yang membanjiri tubuh.

Tubuhku terus berguncang hebat, semakin kuat dan cepat saat hampir mencapai puncak. Beberapa detik kemudian, aku dan Zander sama-sama mendesah dan mengerang penuh kepuasan seraya saling mendekap erat.

Ia memelankan gerakan pinggul, melakukan sedikit putaran pelan sebelum menekan kuat untuk terakhir kali. Dia mengembuskan napas perlahan sambil memandangiku.

"Kurasa kau bisa membuatku mati karena menggilaimu, Lea ...."

***

"Z!" teriak seorang bocah lelaki saat kami kembali menuruni tangga. Ia berlari memburu ke arah Zander dan seketika merangkul kakinya.

"Hai, Tim!" sapa Zander.

Bocah itu kemudian memandangiku dengan mata hijaunya. Ia mirip dengan Simon. "Apa dia pacarmu, Z?"

Aku seketika gelagapan, tak tahu harus berkata apa. Zander segera mengacak-acak rambut Timothy sambil menunduk, membisikkan sesuatu di telinganya, lalu meraih lengan anak lelaki itu, melangkah bersama menuju dapur.

Kususul mereka ke dapur. Di sana terlihat Luciana sedang sibuk membantu Simon. Mereka terlihat seperti pasangan yang baru saja menikah. Cara menatap dan saling menggoda sambil memasak bersama terlihat sangat mesra.

Aku paham kini kenapa Luciana ingin bekerja di bar Simon dan Zander menawarkan dalam waktu sebulan untuknya. Ia pasti bisa melihat jika temanku dan temannya itu saling tertarik.

Aku sangat bodoh. Bagaimana bisa tak melihat tanda-tanda di wajah dan sikap Luciana saat di bar.

Aku kembali harus memuji Zander. Dia begitu perhatian, bahkan pada hal-hal kecil yang luput dari pengamatan orang lain.

Pantas tadi Luciana bahkan tak mencegah saat Zander menarikku ke lantai atas. Dia pasti berterima kasih karena telah memberi kesempatan untuk ia dan Simon berduaan.

Aku sungguh teman yang buruk. Kuamati Zander yang tengah asyik mengobrol serta bercanda dengan Timothy agar tak mengganggu Luciana dan Simon. Diam-diam, bibirku mengembangkan senyuman.

*** 

WILD AND CRAZY (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang